
Waktu itu saya masih jadi desainer grafis di Jogja. Nanang itu salah satu
pelanggan setia saya.
Siang itu, ia datang tergopoh-gopoh ke kantor saya.
“Mas, tolong ini di-desain-in. Aku dikejar deadline, harus selesai
sekarang. Pelangganku galak. Aku takut sama dia!”
Ok, langsung saya kerjakan. Ia di sebelah saya. Memberi
penjelasan sana-sini. Akhirnya sekitar sejam selesai. Dia kelihatan lega, paniknya
hilang. Namun, tidak seperti biasanya yang suka ngobrol-ngobrol dulu, ia segera pulang.
Setengah jam kemudian, ia kembali lagi. Mukanya panik. Lebih panik dari sebelumnya. Ia setengah berteriak, napasnya terengah-engah. “Massss, anakku disini nggak? Anakku dimana ya? Di rumah gak ada!”
Setengah jam kemudian, ia kembali lagi. Mukanya panik. Lebih panik dari sebelumnya. Ia setengah berteriak, napasnya terengah-engah. “Massss, anakku disini nggak? Anakku dimana ya? Di rumah gak ada!”
Haaa??? Saya melongo. Kok nanya anaknya ke saya?
Anaknya laki-laki, umurnya sekitar 7 tahunan. Belum sekolah.
Rupanya tadi ia mengajak anaknya ke kantor saya, tapi saking
paniknya dengan urusan pekerjaan, ia lupa anaknya dimana. Istrinya
di rumah ikut panik. “Kan tadi ikut sama kamu!” Begitu kira-kira omelan
istrinya.
Saya bantu mengorek keterangan dari dia, tadi kemana saja sebelum ke kantor saya. Setelah agak tenang, dia
ingat.
Anaknya ada di warung sebelah kantor saya. Sedang duduk menunggu.
Tidak beranjak kemana-mana, dengan mangkok es campur kosong di depannya. Nanang meninggalkannya
di sana sebelum masuk ke kantor saya. Dan setelah urusannya selesai, dia lupa anaknya
di situ. Kami lega bercampur geli. Tertawa keras-keras.
Saat itu saya ingat benar, apa jawab anaknya, waktu saya tanya, ‘Kok kamu
gak pergi kemana-mana?’
Anaknya menjawab, “Tadi Bapak ngomong,
aku mesti nunggu sampai Bapak dateng.
Nek ora, aku diseneni Bapak, aku wedi karo Bapak.
(kalau tidak, saya dimarahi Bapak, aku takut sama Bapak).”
Malam ini, sambil mengenang kejadian itu, pikiran saya melayang ke kalimat kuno yang ditulis Nabi Daud dalam bukunya di Mazmur 112:1, “Berbahagialah orang yang takut akan TUHAN, yang sangat suka kepada segala perintah-Nya.”
Dari sisi psikologi, takut itu salah satu bentuk emosi. Ketakutan didefinisikan sebagai sebuah tanggapan emosi terhadap adanya ancaman yang nyata. Nah, orang kadang sulit membedakan emosi takut dengan emosi gelisah.
Jadi ada dua jenis takut. Takut yang real dan takut yang hanya berupa persepsi.
Takut akan Tuhan itu harus. Karena Tuhan itu nyata. PerintahNya nyata.
Dan yang paling penting, sekali lagi ini penting banget, ‘semua perintahNya dimaksudkan
untuk kebaikan kita’.
Rasa takut anaknya Nanang (saya lupa namanya), kepada Bapaknya itu bagus. Karena takut itu melindunginya dari bahaya. Ia bisa saja lari-lari ke jalan raya, tapi ia diam dan duduk saja. Sementara, takutnya Nanang terhadap pelanggannya mungkin saja hanya persepsi.
Takut-takut yang lain? Takut gelap, misalnya, itu juga cuma persepsi
terhadap ancaman. Takut melakukan hal baru, itu juga persepsi. Takut naik
pesawat terbang. Takut semacam ini bisa ditaklukan dengan mendidik pikiran kita. Mind-hacking kalau kata para ahli brain-science.
Saya pernah takut sekali untuk melakukan public speaking. Padahal pekerjaan saya
mengajar. Nah, mentor saya bilang begini.
“Coba bayangkan hal terburuknya. Kalau kamu ngajar, di depan, terus
kamu jelek ngajarnya, apa yang bisa terjadi.” Saya mencoba membayangkan.
Dia menyambung, “Nggak mungkin kan, kamu disilet-silet, dibunuh,
dipukulin? Paling juga dicuekin.”
Hehe… benar juga ya. Jadi takut saya itu cuma gelisah. Cuma persepsi,
bukan ancaman nyata yang sesungguhnya.
Nah, untuk yang takut terbang, kemarin saya baru baca. Sebuah maskapai
penerbangan Virgin Atlantic Airways menyatakan bahwa ia punya kabar baik buat
orang yang takut terbang. Mereka dapat menginstall aplikasi di iPhone untuk
menghilangkan ketakutannya. Maskapai penerbangan jarak jauh tersebut menamakan
aplikasi itu ‘Program Terbang Tanpa Takut’. Tidak dijelaskan cara kerjanya,
namun saat Anda menekan tombol tertentu di aplikasi itu, rasa takut akan mereda.
Angka keberhasilannya katanya mencapai 98 persen.
Jadi sekali lagi, ada takut yang harus. Salah satunya takut akan
Tuhan. Misalnya lagi, takut melanggar lampu lalu lintas. Takut melawan penjahat
yang bersenjata. Takut makan daging berkolestrol tinggi. Takut merokok. Takut
yang real deh pokoknya. Tapi ada takut yang harus ditaklukkan.
Tugas kita adalah memilah sumber ketakutan
itu. Ancaman sungguhan atau ancaman yang sekedar persepsi saja. (dhw)
Note tambahan: Aseeekkk foto Nanang sekeluarga ketemu...
Note tambahan: Aseeekkk foto Nanang sekeluarga ketemu...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar