Halaman

Senin, Oktober 31, 2016

Aku wedi karo Bapak

Malam ini, tiba-tiba saya ingat teman saya Nanang. Kejadiannya sudah belasan tahun lalu. Ceritanya begini.
Waktu itu saya masih jadi desainer grafis di Jogja. Nanang itu salah satu pelanggan setia saya.
Siang itu, ia datang tergopoh-gopoh ke kantor saya.
“Mas, tolong ini di-desain-in. Aku dikejar deadline, harus selesai sekarang. Pelangganku galak. Aku takut sama dia!”
Ok, langsung saya kerjakan. Ia di sebelah saya. Memberi penjelasan sana-sini. Akhirnya sekitar sejam selesai. Dia kelihatan lega, paniknya hilang. Namun, tidak seperti biasanya yang suka ngobrol-ngobrol dulu, ia segera pulang.
Setengah jam kemudian, ia kembali lagi. Mukanya panik. Lebih panik dari sebelumnya. Ia setengah berteriak, napasnya terengah-engah. “Massss, anakku disini nggak? Anakku dimana ya? Di rumah gak ada!”
Haaa??? Saya melongo. Kok nanya anaknya ke saya?
Anaknya laki-laki, umurnya sekitar 7 tahunan. Belum sekolah.
Rupanya tadi ia mengajak anaknya ke kantor saya, tapi saking paniknya dengan urusan pekerjaan, ia lupa anaknya dimana. Istrinya di rumah ikut panik. “Kan tadi ikut sama kamu!” Begitu kira-kira omelan istrinya.
Saya bantu mengorek keterangan dari dia, tadi kemana saja sebelum ke kantor saya. Setelah agak tenang, dia ingat.
Anaknya ada di warung sebelah kantor saya. Sedang duduk menunggu. Tidak beranjak kemana-mana, dengan mangkok es campur kosong di depannya. Nanang meninggalkannya di sana sebelum masuk ke kantor saya. Dan setelah urusannya selesai, dia lupa anaknya di situ. Kami lega bercampur geli. Tertawa keras-keras.
Saat itu saya ingat benar, apa jawab anaknya, waktu saya tanya, ‘Kok kamu gak pergi kemana-mana?’
Anaknya menjawab, “Tadi Bapak ngomong, aku mesti nunggu sampai Bapak dateng. Nek ora, aku diseneni Bapak, aku wedi karo Bapak. (kalau tidak, saya dimarahi Bapak, aku takut sama Bapak).”

Malam ini, sambil mengenang kejadian itu, pikiran saya melayang ke kalimat kuno yang ditulis Nabi Daud dalam bukunya di Mazmur 112:1, “Berbahagialah orang yang takut akan TUHAN, yang sangat suka kepada segala perintah-Nya.”

Dari sisi psikologi, takut itu salah satu bentuk emosi. Ketakutan didefinisikan sebagai sebuah tanggapan emosi terhadap adanya ancaman yang nyata. Nah, orang kadang sulit membedakan emosi takut dengan emosi gelisah. Takut berkaitan dengan adanya ancaman eksternal yang nyata, sementara gelisah adalah hasil dari persepsi akan adanya ancaman.
Jadi ada dua jenis takut. Takut yang real dan takut yang hanya berupa persepsi.
Takut akan Tuhan itu harus. Karena Tuhan itu nyata. PerintahNya nyata. Dan yang paling penting, sekali lagi ini penting banget, ‘semua perintahNya dimaksudkan untuk kebaikan kita’.
Rasa takut anaknya Nanang (saya lupa namanya), kepada Bapaknya itu bagus. Karena takut itu melindunginya dari bahaya. Ia bisa saja lari-lari ke jalan raya, tapi ia diam dan duduk saja. Sementara, takutnya Nanang terhadap pelanggannya mungkin saja hanya persepsi.
Takut-takut yang lain? Takut gelap, misalnya, itu juga cuma persepsi terhadap ancaman. Takut melakukan hal baru, itu juga persepsi. Takut naik pesawat terbang. Takut semacam ini bisa ditaklukan dengan mendidik pikiran kita. Mind-hacking kalau kata para ahli brain-science.
Saya pernah takut sekali untuk melakukan public speaking. Padahal pekerjaan saya mengajar. Nah, mentor saya bilang begini.
“Coba bayangkan hal terburuknya. Kalau kamu ngajar, di depan, terus kamu jelek ngajarnya, apa yang bisa terjadi.” Saya mencoba membayangkan.
Dia menyambung, “Nggak mungkin kan, kamu disilet-silet, dibunuh, dipukulin? Paling juga dicuekin.”
Hehe… benar juga ya. Jadi takut saya itu cuma gelisah. Cuma persepsi, bukan ancaman nyata yang sesungguhnya.
Nah, untuk yang takut terbang, kemarin saya baru baca. Sebuah maskapai penerbangan Virgin Atlantic Airways menyatakan bahwa ia punya kabar baik buat orang yang takut terbang. Mereka dapat menginstall aplikasi di iPhone untuk menghilangkan ketakutannya. Maskapai penerbangan jarak jauh tersebut menamakan aplikasi itu ‘Program Terbang Tanpa Takut’. Tidak dijelaskan cara kerjanya, namun saat Anda menekan tombol tertentu di aplikasi itu, rasa takut akan mereda. Angka keberhasilannya katanya mencapai 98 persen.
Jadi sekali lagi, ada takut yang harus. Salah satunya takut akan Tuhan. Misalnya lagi, takut melanggar lampu lalu lintas. Takut melawan penjahat yang bersenjata. Takut makan daging berkolestrol tinggi. Takut merokok. Takut yang real deh pokoknya. Tapi ada takut yang harus ditaklukkan. 
Tugas kita adalah memilah sumber ketakutan itu. Ancaman sungguhan atau ancaman yang sekedar persepsi saja. (dhw)

Note tambahan: Aseeekkk foto Nanang sekeluarga ketemu...

Senin, Oktober 17, 2016

The Werther Effect


Sebuah novel bestseller berjudul 'The Sorrow of Young Werther' karangan Goethe, terbit tahun 1774. Novel ini berkisah tentang perjuangan cinta seorang pemuda bernama Werther. Novel ini begitu bagusnya sampai-sampai para pemuda di jaman itu meniru gaya berpakaian Werther, jaket biru panjang, celana panjang kuning dan baju berkerah terbuka. Sayangnya, kisah Werther berakhir tragis. Ia menembakkan pistol ke kepalanya karena cintanya kandas. 
Lebih tragis lagi, sekitar 2000 pemuda Eropa yang membaca buku ini melakukan bunuh diri dengan cara yang sama. Fenomena ini diteliti psikolog David Philips (1974). Ia menyebut peniruan cara bunuh diri idola secara massal ini dengan istilah The Werther Effect. David Phillips menyatakan media harus berhati-hati dalam memberitakan, menerbitkan, menceritakan secara detail cerita tentang bunuh diri. Remaja yang belum dewasa, rentan untuk menirunya.
Akhir-akhir ini kita melihat fenomena yang mirip. Orang membabi buta mengikut pribadi-pribadi yang menurutnya mengagumkan. Beberapa tokoh berpendidikan bahkan ikut-ikutan. Anda bisa membayangkan lah... siapa saja kira-kira yang saya maksudkan.
Dalam bukunya, Yukl (2010) menuliskan adanya bahaya dari karisma, 'The Dark Side of Charisma". Charismatic Leader  akan ditiru, diikuti, tanpa bertanya oleh para pengikutnya. Contohnya Hitler, Musollini, dan banyak tokoh lain. Tidak heran banyak orang dengan mudahnya tertipu, dan mengikuti apapun yang dikatakan tokoh-tokoh yang menyatakan diri mereka tokoh agama, yang sekarang ditangkap karena kasus kriminalitas. 
Saat orang membabi buta mengikuti seseorang untuk melakukan hal yang salah, hampir mustahil bagi pihak lain untuk menyadarkan pengikut yang banyak dan loyal itu. Akan sangat menghabiskan energi dan waktu, ditambah lagi mereka akan merasa diserang keyakinannya. Dan itu mampu menimbulkan reaksi perlawanan yang mengerikan. Maka, treatment yang efektif adalah menyadarkan pemimpinnya. Nah, kalau pemimpinnya sudah terlanjur gila beneran, susah juga. Maka fenomena ini harus direm sebelum muncul.
Di lingkup kita masing-masing, sebenarnya kita memiliki kumpulan orang yang "membaca novel kehidupan" kita. Minimal pembaca kita adalah istri dan anak-anak kita (bila sudah punya), atau teman, bila Anda masih jomblo. Hidup kita ada dalam sorotan lampu panggung. Orang di sekitar kita melihat bagaimana cara kita hidup, cara kita bicara, berpikir, dan berperilaku. Semakin hebat kita, semakin banyak yang ingin meniru. Di titik tertentu, pengikut kita itu tidak peduli lagi tentang benar dan salah. Yang penting ikut saja. Disinilah bahaya itu muncul. Di titik ini kita harus terus menerus mengevaluasi diri. 
Saat anak kita yang masih di bawah umur mulai santai merokok di depan kita, menantang otoritas, menonton video porno, dengan entengnya memaki-maki dengan kata kotor sambil tertawa, saatnya kita bertanya apakah perilaku kita juga demikian. 
Saat bawahan kita mulai dengan santainya melanggar peraturan, terlambat, keluar masuk kantor seenaknya, merokok di sembarang tempat, buang sampah sembarangan, saat itu kita harus introspeksi, darimana contoh perilaku itu muncul. Jangan-jangan dari kita.
Maka hidup benar itu tidak hanya sebatas saat kita sedang beribadah. Hidup benar harus berlanjut keluar dari tempat ibadah kita masing-masing ke kehidupan sehari-hari. Ingat, hidup kita dibaca dan bisa-bisa ditiru orang lain. Kalau kita sembarangan, jangan-jangan orang lain tergiring jadi sembarangan juga. So... hati-hati menjalani hidup. (dhw)