Halaman

Kamis, Juni 19, 2014

Amygdala dan Pilpres

Lo jual gua beli. Lo komen gue lempar. Lo senggol gua bacok. 

Waduh waduh apa ini. Kejadian ini mungkin pernah terjadi pada kita. Respon reaktif yang langsung kita lakukan saat kita menemui sesuatu yang bikin nggak asyik.

Suasana pemilu presiden kali ini memang makin lama makin panas. Kedua pendukung fanatik sudah tidak tergoyahkan lagi tampaknya. Jadi usaha apapun untuk mengubah pilihan sebenarnya sedikit sekali pengaruhnya. Bahkan kalau boleh dibilang udah nggak ngaruh.

Yang menarik adalah mengkaji bagaimana reaksi emosi masing-masing pendukung terhadap "lawannya". Reaksi emosi akan berakibat pada respon perilaku. Ini yang gawat. Banyak terdengar pertemanan yang putus, pertengkaran suami-istri, caci maki di media sosial yang terjadi gara-gara proses pemilu kali ini.

Kok kita bisa seperti ini, melakukan sesuatu dengan cepat yang bisa jadi akan kita sesali sesudahnya. Hmm… ternyata ini ada hubungannya sama kecerdasan emosi. Kali ini coba kita tinjau dari sisi cara kerja otak. 

Inilah yang sebenarnya terjadi, ada pembajakan amygdala. Biasa disebut dengan istilah Amygdala hijack. Hah... apa lagi ini? Bajak membajak kan cuma terjadi di dunia IT, di laut, di pesawat atau di sawah? Eh.. ternyata pembajakan juga terjadi di otak kita.

Nah.. biar jelas, sebelumnya kita mesti tahu dulu bagaimana cara kerja sederhana dari otak kita. Otak memiliki jalur lalu lintas informasi. Bila lalu lintas itu melalui jalur yang benar, maka respon yang kita keluarkan menjadi tepat. 

Beginilah jalur yang seharusnya dilalui. Informasi yang masuk, selalu mampir ke bagian otak kita yang bernama thalamus lebih dulu. Thalamus adalah bagian kecil otak yang berfungsi seperti polisi lalu lintas yang akan mengarahkan informasi tersebut ke berbagai bagian otak. Secara sederhana, dalam konteks ini, otak bisa dibagi jadi tiga bagian. Bagian otak motorik (lymbic), otak emosi (amygdala), dan otak berpikir (neocortex).Waktu stimulus masuk, thalamus akan mengarahkannya ke amygdala. Amygdala ini merupakan bagian otak yang berfungsi untuk mengelola emosi. Setelah informasi ditafsirkan di amygdala, informasi seharusnya diarahkan ke neocortex. Ini biasa secara awam dibagi lagi menjadi otak kanan dan kiri. Setelah diproses di sini, keluarlah perintah untuk bertindak ke otak motorik. Ini jalur yang benar. Jalur ini yang dapat membuat kita memberi respon yang sudah dipikir. Respon ini sudah diolah dan dikontrol. Ini yang disebut cerdas emosi.

Sayangnya, jalur ini tidak selalu dipatuhi. Ada kalanya suatu informasi yang datang kepada kita, dibajak oleh amygdala sendiri. Ia tidak "melaporkan" informasi itu ke neocortex, tapi langsung memerintahkannya ke limbik, akibatnya kita langsung ber-reaksi tanpa dipikir.

Contoh: waktu kita di facebook melihat informasi yang dianggap menghina capres idaman kita. Dan itu di-upload teman kita, langsung saja oleh amygdala tidak dikirim ke neocortex tapi ke limbik. Amygdala akan berkata, "Kurang ajar dia!! Aku pikir dia pintar!! Ternyata dia milih si Dia!!" Tanpa mempertimbangkan hubungan pertemanan yang sudah lama, amygdala bertindak dengan memerintahkan motorik kita untuk menekan "Unfriend" atau "Unfollow". Putuslah hubungan di media sosial. Bukan hanya itu, bahkan kita mencaci maki balik. Menciptakan berbagai alasan di benak kita, yang intinya dia salah dan bodoh, aku benar dan pintar. Akhirnya benar-benar putuslah hubungan pertemanan.

Inilah yang disebut reaktif. Kondisi ini biasa disebut amygdala hijack. Tidak heran banyak hal yang kelak disesali saat emosi sudah mereda, dan konsekuensinya berbicara.

Bagaimana cara agar amygdala kita tidak bisa melakukan pembajakan informasi? Simple. Cukup berdiam selama 6 detik. Enam detik "pause" ini akan membuat oksigen membanjiri otak kita. Secara alamiah, informasi tadi akan mengalir ke neocortex. Informasi yang memancing amarah sebesar apapun akan kembali melalui jalur yang benar. Hingga kitapun tetap bisa memberikan respon yang tepat. Kalau itu respon marah, marahnya adalah marah yang terkontrol. Respon apapun yang kita beri, adalah respon dari hasil berpikir. 

Jadi sekali lagi saya tekankan, bukan kita gak boleh marah, tapi misalnya harus marah, marahlah dalam kondisi terkontrol. Selamat ber-respon secara bertanggungjawab. Respon yang benar itu nomor satu ... (dhw)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar