Halaman

Rabu, Juli 28, 2010

Sindrom "Harus Menang"

Sekali-sekali nulis tentang sepakbola ya...

Seperti menjadi sebuah rutinitas, kerusuhan sepakbola kembali terjadi. Intensitasnya selalu makin meningkat. Rasanya hampir setiap pertandingan sepakbola, selalu diwarnai dengan tindakan anarkis.

Sepotong petikan syair dari lagu "Garuda di Dadaku" oleh Netral mengatakan, "Ku yakin, hari ini pasti menang." Lirik ini tampaknya dianut dengan penuh semangat oleh para suporter. Menjadi sebuah mantera yang dinyanyikan. Diyakini kebenarannya dan diharapkan kenyataannya.

Das Sein vs Das Sollen

Dunia ini tidak selalu berjalan sesuai yang kita ingini. Kita akrab dengan istilah das sein dan das sollen; harapan dan kenyataan. Permasalahan akan selalu terjadi apabila harapan tidak sesuai dengan kenyataan.

Dalam setiap pertandingan selalu ada tiga kemungkinan yang terjadi. Menang, kalah, atau seri. Sederhana sekali, bila kesebelasan satunya menang, kesebelasan lain pasti kalah. Atau bisa juga dua-duanya tidak ada yang menang alias seri.

Disini baru terasa bahayanya apabila setiap suporter dari kedua kelompok memiliki mantera di dadanya "kuyakin hari ini pasti menang". Maka setiap orang akan menjadi yakin kesebelasannya pasti menang dan harus menang. Dan yang terjadi adalah akan ada pihak yang sangat kecewa atau malah dua-duanya kecewa kalau hasilnya seri.

Kekecewaan terjadi apabila apa yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Semakin yakin sesuatu yang diharapkan itu akan terjadi, semakin besar kekecewaannya bila hal itu tidak terwujud. Semakin yakin pasti menang, semakin besar kecewanya kalau kalah.

Maka, tidak heran bila suporter bisa menjadi sangat beringas kalau kesebelasannya tidak menang. Marah kepada wasit, kepada pemain lawan, kepada sistem, kepada penjaga garis, kepada PSSI, kepada kursi stadion, bahkan marah kepada orang lewat yang tidak tahu apa-apa. Karena pikiran mereka mengatakan 'kita pasti menang'. Maka kalau kita tidak menang pasti pihak lain yang salah. Pihak lain yang curang.

Tujuan atau Proses?

Dalam teori organisasi, Ada beberapa pendekatan dalam menilai keefektifan organisasi. Dua diantaranya adalah goal attainment approach dan system approach (Robbins, 1990). Pada pendekatan pertama, efektifitas organisasi dinilai berdasar keberhasilan dalam pencapaian tujuan. Pendekatan kedua ditekankan pada sistem atau proses dalam pencapaian tujuan.

Pada pendekatan pencapaian tujuan, seluruh energi dan komponen organisasi akan diarahkan untuk mencapai tujuan. Prosesnya tidak penting. Kredonya adalah mencapai tujuan bagaimanapun caranya. Pada konteks sepakbola, main sepakbola itu tujuannya untuk menang. Maka organisasi, dalam hal ini sebuah kesebelasan sepakbola, akan menggunakan segala cara untuk menang dan harus menang. Tujuan lebih penting daripada proses.

Sebaliknya pada pendekatan proses, organisasi tidak terlalu memperhatikan hasil. Bagi penganut pendekatan ini, proses yang baik otomatis akan memberi hasil yang terbaik yang mereka bisa. Yang lebih penting adalah tujuan jangka panjang. Maka seluruh energi akan diarahkan dalam bidang pembinaan, untuk menciptakan proses yang baik. Dalam konteks sepakbola, cantiknya permainan lebih penting daripada hasil akhir. Orang-orang seperti inilah yang mampu membuang bola ke luar lapangan ketika melihat musuhnya terluka. Hanya orang yang berorientasi pada proses yang mampu merelakan hasil demi melakukan permainan cantik. Proses lebih penting daripada tujuan.

Kemampuan Kalah

Kemampuan menerima kekalahan adalah sesuatu yang jarang sekali diajarkan. Mungkin kita ingat pada saat kita masih kecil. Apabila kita berlarian, menabrak meja, dan jatuh, orang tua spontan saja akan memukul meja itu sambil berkata, "Meja nakal! Meja jahat! Sudah ya jangan nangis, Nak. Nih mejanya dipukul papa!"

Tanpa disadari, sebagai orang tua kita menanamkan nilai yang salah. Apabila kita gagal, pihak lain yang salah. Sejak kecil, kita jarang diajari untuk bertanggungjawab atas perbuatan kita sendiri. Kita jarang diajari untuk menerima kekalahan.

Dari sisi teori psikologi sosial, ada istilah locus of control eksternal dan internal. Sederhananya dari sisi manakah kita menilai segala sesuatu, dari dalam diri kita atau dari luar diri kita. Contohnya, apabila kesebelasan sepakbolanya kalah bertanding, orang yang locus of control-nya eksternal akan berkata, "Ini gara-gara wasitnya buruk, pemain lawan curang lagi!". Sebaliknya bila orang yang memiliki locus of control internal akan berkata, "Ini gara-gara kami bermain buruk dan kurang latihan." Mana yang lebih baik?

Kesediaan untuk mengakui kehebatan orang lain adalah salah satu komponen yang diperlukan manusia untuk dapat beradaptasi dalam dunia yang kompetitif ini. Seharusnya kita belajar untuk mengakui kekurangan kita dan memuji kehebatan orang lain. Belajar mengevaluasi diri sehingga tidak melakukan kesalahan yang sama. Itulah sportivitas. Itulah esensi dari olahraga. Itulah yang seharusnya ditekankan oleh para pengurus olahraga di negara kita.

Indahnya, bila setiap pemain diajari untuk melakukan yang terbaik, tanpa peduli apapun hasilnya. Melatih skillnya, melatih motivasinya, sekaligus melatih kemampuan untuk menerima kekalahan. Pendidikan ke suporter juga menjadi hal yang krusial. Fanatisme kedaerahan tidak perlu lagi ditonjolkan.

PSSI sebagai induk organisasi sepakbola punya kewajiban untuk mengubah paradigma kebermaknaan dalam sepakbola. Main cantik akan lebih baik daripada menang karena main brutal, tabrak sana-tabrak sini.

Dalam salah satu iklan yang sering muncul akhir-akhir ini, seorang pemain batal menendang bola ke gawang lawan, karena kiper lawan terluka. Dan suporter lawan digambarkan memberikan tepuk tangan atas tindakan pemain itu. Sungguh sebuah kondisi ideal yang rasanya ada di awang-awang bagi persepakbolaan kita. Mungkinkah itu terjadi dalam dunia sepakbola kita? Mari kita bangun sepakbola Indonesia menjadi sepakbola yang sportif.