Halaman

Selasa, Februari 02, 2010

Fenomena Bunuh Diri pada Anak Kecil

Akhir-akhir ini banyak sekali berita tentang anak yang melakukan bunuh diri. Berikut tinjauan psikologis dari perilaku bunuh diri pada anak dan tindakan prevensi yang sebaiknya dilakukan.

A. Penyebab Bunuh Diri

Bunuh diri adalah bukan disebabkan sebuah kondisi sesaat sebelum bunuh diri (precipitating event), namun merupakan akumulasi dari kondisi psikologis yang dialami anak (Rahmawati, 2004).

Santrock (dalam Rahmawati, 2004) mengatakan bahwa bunuh diri disebabkan oleh depresi yang melanda pelakunya. Depresi didahului oleh frustasi, dan frustasi didahului oleh stres. Depresi dapat terjadi pada anak karena berbagai faktor antara lain faktor kognitif, biogenetis, dan lingkungan sosial.

B. Penyebab Masalah

Psikoanalisa memandang tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh individu adalah agresifitas yang tinggi dalam menyerang dirinya sendiri. Konsep ini didasarkan pada teori Freud tentang insting mati (death instinct) atau thanatos. Freud menyatakan bahwa kehilangan kontrol ego individu, menjadi penyebab individu tersebut melakukan bunuh diri. Bunuh diri merujuk pada suatu manifestasi kemarahan kepada orang lain yang dialihkan kepada diri sendiri (Hall, 1993).

Menurut logoterapi, sindroma ketidakbermaknaan adalah sumber dari masalah. Menurut Frankl (2003), seseorang yang tidak menemukan makna hidup akan mengalami sindroma ketidakbermaknaan (syndrom of meaninglessness). Sindroma ini terdiri dari dua tahapan yaitu kevakuman eksistensi (existential vacum) dan neurosis noogenik. Kevakuman eksistensial terjadi ketika hasrat akan makna hidup tidak terpenuhi. Gejala-gejala yang ditimbulkan dari kevakuman eksistensial ini antara lain perasaan hampa, bosan, kehilangan inisiatif, dan kekosongan dalam hidup. Fenomena ini merupakan fenomena yang menonjol pada masyarakat modern saat ini. Hal ini dikarenakan pola masyarakat modern yang sudah terlalu jauh meninggalkan hal-hal yang bersifat religius dan moralitas. Frankl menekankan bahwa kevakuman eksistensialis bukanlah sebuah penyakit dalam pengertian klinis. Frankl menyimpulkan bahwa frustasi eksistensi adalah sebuah penderitaan batin ketika pemenuhan akan hasrat untuk mempunyai hidup yang bermakna terhambat (Bastaman, 2007).
Neurosis noogenik merupakan sebuah gejala yang berakar pada kevakuman eksistensialis. Neurosis ini terjadi apabila kevakuman eksistensialis disertai dengan simptom-simptom klinis. Permasalahan patologis tersebut berakar pada dimensi spiritual dan noologis yang berbeda dengan neurosis somatogenik (neurosis yang berakar pada fisiologis) maupun neurosis psikogenik (neurosis yang berakar pada permasalahan psikologis). Neurosis noogenik itu sendiri dapat timbul dengan berbagai neurosis klinis seperti depresi, hiperseksualitas, alkoholisme, narkoba, dan kejahatan (Koeswara, 1990).

Pada kasus anak yang bunuh diri, anak menemukan kebuntuan dalam hidupnya karena tidak dapat menemukan makna dari penderitaan yang dialaminya. Anak secara naluriah belum mampu untuk memodifikasi sikap dan mempertahankan diri terhadap penderitaan yang dialami. Hal ini diperkuat dengan kondisi anak yang lemah secara psikologis, kurangnya dukungan sosial, maupun buruknya kondisi lingkungan di sekitar anak.

Kondisi anak yang lemah psikologis, misalnya adalah anak yang berpendidikan rendah, memiliki pemahaman religius yang rendah, tidak stabil, dan kemungkinan mengalami mood disorder. Bunuh diri sering kali diasosiasikan dengan gangguan mood. Paling kurang, 15 % individu dengan depresi, sukses melakukan bunuh diri (www.mentalhelath.net). Lebih dari 60 % kasus bunuh diri (75 % bunuh diri pada remaja) diasosiasikan dengan adanya gangguan mood. Lebih lanjut, meskipun ditemukan jika depresi dan bunuh diri sangatlah terikat erat satu sama lainnya, namun depresi dan bunuh diri masih berdiri sendiri. Kebanyakan, perasaan terisolasi dan kehilangan harapan (bagian dari depresi) adalah hal yang sangat bisa menyebabkan terjadinya bunuh diri.

Kurangnya dukungan sosial, misalnya orang tua yang selalu menyalahkan, terlalu banyak menuntut, kurang perhatian, tidak memberikan dukungan keuangan yang cukup kepada anak karena miskin, atau orang-orang terdekat yang sering mengejek atau menghina kekurangan si anak.

Buruknya kondisi lingkungan di sekitar anak, misalnya pengaruh siaran televisi yang menyiarkan hedonisme, konsumerisme, kekerasan, atau situasi lain yang mendukung adanya sarana untuk bunuh diri (situasi rumah yang sepi, ketersediaan bahan-bahan untuk bunuh diri, dll).

C. Prevensi

1. Primary Prevention Practice

Dalam merancang prevensi terhadap kasus bunuh diri pada anak, tulisan ini menggunakan skema dari Martin Bloom (1996), yang menjadi dasar dari prevensi dan intervensi kasus-kasus penyimpangan individu.

a. Meningkatkan kekuatan individu (Increasing individual strengths) dan mengurangi kelemahan individu (decreasing individual limitation)

Saya mengusulkan memasukkan pendidikan mental positif semacam search for meaning berbasis logoterapi pada anak. Bukti penelitian ada pada disertasi Wimberly (2006). Sebuah penelitian yang tercantum dalam disertasi yang berjudul Impact of Logotherapy on At-Risk African American Elementary Students yang dilakukan oleh Wimberly (2006).

Penelitian ini dilakukan pada anak kelas 5 dan 6 SD keturunan Afrika-Amerka yang berresiko untuk memiliki masalah kenakalan remaja di kota-kota yang berpopulasi sedang di Amerika bagian selatan. Sebelum dikenakan treatment konseling, kelompok treatment dan kelompok kontrol dikenakan pretes yang berupa PIL (Purpose in Life) test dan NSLOC (Nowicki Strickland Locus of Control) test. Setelah itu kelompok treatment mendapatkan konseling selama delapan minggu, dan kelompok kontrol tidak mendapatkan konseling itu. Kemudian setelah delapan minggu, kedua kelompok dites kembali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok treatment mendapatkan hasil yang signifikan dalam peningkatan skor PIL, NSLOC, dan berdasar hasil observasi guru terhadap perilaku dalam kelas mereka, menunjukkan perubahan positif setelah menjalani treatment logoterapi. Sedangkan pada kelompok kontrol yang tidak menerima treatment justru menunjukkan hasil penurunan skor dan perubahan negatif dalam perilaku kelas.

Pemerintah dan swasta bekerjasama untuk menyediakan beasiswa atau program orangtua asuh untuk anak-anak miskin yang berresiko untuk mengalami depresi. Sekolah-sekolah mengadakan asesmen dan melakukan pendataan pada anak-anak yang berresiko depresi dan mengalami kecenderungan bunuh diri.

Menambah kualitas pendidikan agama yang diberikan pada anak di sekolah. Pendidikan agama ini diharapkan memberikan pemahaman tentang makna hidup, dan menumbuhkan harapan pada Tuhan.

b. Meningkatkan dukungan sosial (increasing social support) dan mengurangi tekanan sosial (decreasing social stresses)

Memberikan penyuluhan dan pengertian pada orang tua tentang adanya kenyataan permasalahan ini. Begitu juga figur pengganti orang tua seperti tetangga, guru, dan teman.
Memberikan bekal kepada orang tua untuk tidak terlalu menuntut hal-hal yang tidak mungkin kepada anak. Menyebarluaskan kesadaran pada masyarakat agar tidak memberikan tekanan berlebih kepada anak.

c. Meningkatkan kemudahan yang ditimbulkan dari lingkungan fisik dan mengurangi kesulitan yang ditimbulkan dari lingkungan fisik

Menanamkan kewaspadaan kepada semua pihak akan besarnya kemungkinan terjadinya kasus bunuh diri pada anak, sehingga dapat bekerja sama menanggulangi hal tersebut. Menyaring tayangan-tayangan kekerasan dan kriminal yang menyebabkan anak terbiasa untuk melihat kematian.

Dalam psikologi lingkungan dikenal istilah environmental numbness (ketumpulan terhadap lingkungan). Ketika seseorang sudah terbiasa pada keburukan lingkungannya, maka ia menjadi tidak lagi terpengaruh oleh keburukan itu. Contohnya seseorang yang tinggal di dekat pasar, lama kelamaan tidak lagi merasakan bahwa pasar itu ribut atau bau, karena sudah terbiasa. Begitu pula dalam kasus kekerasan dan kriminalitas. Ketika seseorang begitu sering melihat adegan kekerasan, kriminal, dan kematian maka ia tidak lagi memandang hal itu sebagai sebuah tragedi atau peristiwa yang luar biasa. Maka perlulah semua pihak mengontrol lingkungan agar tidak memberi pengaruh negatif pada anak.

2. Pendekatan Sistem

Diperlukan pula pendekatan sistem dalam kasus bunuh diri pada anak ini. Secara makro pemerintah perlu mengoreksi berbagai kebijakan dalam hal kurikulum pendidikan yang terlalu berat dan menimbulkan stres, biaya pendidikan yang sangat mahal, biaya hidup yang melonjak, program kesehatan mental masyarakat, seleksi penyiaran yang lebih ketat pada media cetak dan elektronik, pendidikan keagamaan yang baik, dan perbaikan situasi ekonomi secara keseluruhan.

Daftar Pustaka

  • Bastaman, H. D. (2007). Logoterapi: Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
  • Bloom, M. (1996). Primary Prevention Practises, Issues in Children's and Families' Lives Volume 5. California: Sage Publications.
  • Frankl, V.E. (2003). Logoterapi, Terapi Psikologi melalui Pemaknaan Eksistensi. Alihbahasa oleh Murtadio. Yogyakarta: KreasiWacana.
  • Hall, C.S., Lindzey, G. (1993). Teori-teori Psikodinamik (Klinis). Editor Dr. A. Supraktinya. Yogyakarta: Kanisius.
  • Koeswara, E. (1992). Logoterapi, Psikoterapi Viktor Frankl. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
  • Rahmawati, N. (2004). Mengapa Anak Nekat Bunuh Diri?, Suara Merdeka, Wacana, 6 Agustus 2004.
  • Wimberly, C.L. (2006). Impact of Logotherapy on At-Risk African American Elementary Students. A Dissertation in Counselor Education. Texas Tech University.

2 komentar: