Halaman

Jumat, Februari 19, 2010

Sex, Religion, Mortality

More than three decades ago, psychologist Paul D. Cameron conducted a survey on how often the average person thinks about three of the most inscrutable phenomena in human experience: sex, religion, and death.

He polled 3,416 people at the University of Louisville asking them what they were thinking about in the preceding five minutes.

His results?

  • Young adults, age 18 to 25, think about sex at least once in any 10-minute period; middle-aged people, at least every 35 minutes; and people over 65, once an hour.
  • Young adults think about religion once every 25 minutes; middle-aged people, once every 15 minutes; older people, every 10 minutes.
  • Young people think about death every 25 minutes; old people every 15 minutes.

Though the figures may have shifted a tad in the intervening years, the basic fact remains, today and every day, that we humans are irrepressibly given to wrestling with the understanding of our sexuality, religion, and mortality, at both conscious and unconscious levels. What about you?

Kamis, Februari 18, 2010

Seribu Terakhir

Isa 57:10 Oleh perjalananmu yang jauh engkau sudah letih lesu, tetapi engkau tidak berkata: "Tidak ada harapan!" Engkau mendapat kekuatan yang baru, dan sebab itu engkau tidak menjadi lemah.

Di kantongku hanya tinggal seribu rupiah. Sudah lama aku nggak gajian. Pagi itu di gereja aku pejamkan mata. Kali ini aku gak peduli dengan teman-teman yang sedang mempersiapkan LCD, alat musik, kabel-kabel, dan pernik-pernik ibadah lain. "Tuhan, gimana nih?" hanya itu yang bisa kubilang pada Tuhan.

Tagihan besar menanti. Hutangku sudah sangat banyak. Kesalahan demi kesalahan dalam perhitungan keuangan membuat perusahaanku sudah terpuruk. Dan akhirnya berakibat pada kondisi ini. Seribu rupiah terakhir di kantongku.

Bertahun-tahun aku selalu memberikan perpuluhan dengan tepat bahkan berlebih kepada gereja. Tidak pernah aku memberi persembahan sebesar seribu rupiah. Dan aku lakukan itu semua dengan sukacita. Tapi pagi ini, dengan sedih hati aku hanya bisa memberikan seribu rupiah. Semoga masa krisis ini cepat berlalu pikirku.

Sambil menunggu ibadah dimulai, pikiranku melayang ke hari esok. Aku memikirkan tagihan delapan ratus ribu rupiah yang harus aku bayar esok pagi. Aku memikirkan uang jutaan lainnya yang harus aku keluarkan untuk membayar tagihan lain-lainnya lagi hari-hari berikutnya.

Pagi itu aku berharap sebuah keajaiban, sebuah jalan keluar, sebuah kemenangan seperti layaknya cerita-cerita mujizat yang sering aku dengar di gereja. Kuingat cerita seorang pendeta yang sering mendapatkan mujizat. Mobil tiba-tiba ada yang memberi, uang tiba-tiba ada di rekening. "Ah, kalau saja ada mujizat juga untukku…" gumamku lagi.

Tubuhku memang ada di kebaktian, namun pikiranku ada nun jauh dimana. Aku membayangkan andaikata aku benar-benar ada di hadirat Tuhan, tentu keadaannya akan banyak jauh berbeda. Hadirat Tuhan? Ini kan di gereja? Masa nggak ada hadirat Tuhan? Tapi jujur, itu yang kurasakan pagi itu. Seandainya saja gereja adalah sebuah solusi, sebuah jalan keluar, pasti semuanya akan beres.

Andaikan ada Yesus datang di ibadah ini, aku pasti minta tolong padaNya. "Tuhan, gimana nih? Masa gak tau penderitaanku?" seruku lagi dalam hati. Selanjutnya aku kaget. Ada suara samar-samar. Jauh. Menusuk ke dalam pikiranku. Aku dengar Yesus berkata, "Aku tahu anak-Ku. Bukan hanya tahu, tapi aku malah lebih tahu dari kamu tentang masalahmu."

"Tuhan, kalau begitu mengapa Kau tidak beri mujizat?" tuntutku lagi.

"Kamu tahu, Aku ini konsekuen. Konsisten. Semua kuasa sudah Ku-serahkan pada gerejaKu. Semua keputusan sudah Kuserahkan pada pimpinan-pimpinan gereja." Jawab Yesus. Dapat kurasakan kesedihanNya saat itu. Mungkin ada air mata di mata-Nya.

Kalau saja, kalau saja, kalau saja, gereja memang seperti yang Yesus mau. Seharusnya ketika aku datang ke gereja hari ini, aku bisa datang dengan air mata permasalahan. Aku tidak perlu pasang muka munafik tanpa masalah. Aku bisa bebas cerita semua masalah dan bebanku, tanpa perlu merasa malu dan tanpa perlu dihakimi sebagai 'kurang iman', 'tidak dewasa', dan 'kurang berdoa'. Aku seharusnya bisa menjatuhkan diriku di atas tangan kasih karunia gereja dan menemukan sebuah tempat aman, sebuah persembunyian.

Namun, jarang ada wajah bersahabat di gereja. Mereka seolah ingin mengatakan bahwa mereka sudah punya cukup banyak masalah di rumah karena itu jangan kau coba-coba ceritakan masalahmu. Dengan gampangnya mereka bisa menjawab masalahku dengan sebuah kata mutiara "doa dengan iman akan memindahkan semua gunung permasalahan", padahal yang sebenarnya dikatakan hati mereka ialah "Aku tidak peduli apapun masalahmu.".

Tanpa sadar, waktu penyembahan telah usai. Sekarang semua jemaat duduk manis sementara mendengarkan khotbah pak pendeta tentang penginjilan, membuka cabang, dan bagaimana jemaat harus berkorban memberi lebih banyak uang lagi, agar tersedia biaya untuk itu.

Tiba-tiba, bendahara gereja yang duduk di sebelahku membisikkan sesuatu, "Kapan kamu bayar iuran bulanan pengurus sekolah minggu?". Aduh Tuhan, bagaimana ini. Lalu dengan senyum aku menjawab dia dengan jawaban yang sama yang kukatakan padanya sebelumnya berkali-kali, "Besok ya.". Sudah tiga bulan aku nggak bayar iuran dan aku satu-satunya pengurus yang menunggak. "Oke, sekalian sama iuran natal ya besok!" jawabnya lagi. Hatiku tambah pedih rasanya.

Seandainya aku adalah salah satu murid Yesus, seandainya aku ada di gereja mula-mula di Kisah Para Rasul, tentu keadaannya akan jauh berbeda. Jawaban atas masalah keuanganku mungkin bukanlah perpuluhan. Jawabannya mungkin bukanlah dengan menabur lebih banyak. Jawabannya mungkin bukan dengan menambah jam doa. Jawabannya adalah jawaban.

Aku mulai membaca di Kisah Para Rasul demikian, "Dan dengan kuasa yang besar rasul-rasul memberi kesaksian tentang kebangkitan Tuhan Yesus dan mereka semua hidup dalam kasih karunia yang melimpah-limpah. Sebab tidak ada seorangpun yang berkekurangan di antara mereka; karena semua orang yang mempunyai tanah atau rumah, menjual kepunyaannya itu, dan hasil penjualan itu mereka bawa dan mereka letakkan di depan kaki rasul-rasul; lalu dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya."

Mereka memiliki kasih karunia yang melimpah-limpah. Ketika aku lihat jemaat sekitarku yang sedang mengangguk-angguk untuk mengatakan "Amin" kepada kata-kata pak pendeta, aku sadar jika gereja saat ini telah jauh dari gambaran gereja yang semula. Tampaknya tidak ada satu orang pun di sini yang peduli atau pun mau membantu kondisi keuanganku.

Mauku, gereja seharusnya adalah komunitas. Mauku, gereja adalah rumah. Mauku, gereja adalah keluarga. Aku bayangkan hebatnya gereja seperti itu. Kalau aku capek kerja seharian, waktu kepalaku hampir pecah dengan urusan kantor, aku selalu punya harapan untuk menutup hari dengan istirahat nyaman di rumah. Aku punya harapan karena aku tahu ketika aku sampai di rumah, tidak ada yang akan menghakimiku, tidak ada yang menyalahkanku, tidak ada yang membuat aku seperti orang bodoh, tidak, tidak ada. Aku bisa pakai baju yang sama berhari-hari di rumah tanpa satu orang pun menyebut aku miskin. Aku bisa istirahat, makan, tidur, santai, bahkan glegeken atau kentut di rumah tanpa khawatir kehilangan image. Ah andai saja gereja bisa menjadi sebuah rumah.

Memang rumah tidaklah menyelesaikan semua masalah. Masalah yang sama tetap ada di sana keesokan harinya, namun rumah adalah sebuah tempat peristirahatan. Rumah adalah tempat dimana aku bisa feel good dan melupakan semua masalah di luar karena aku selalu diterima di rumah. Rumah adalah tempat 'kasih karunia yang berlimpah-limpah' yang tidak ditemukan di tempat manapun yang lain.

"Kita harus hati-hati menggunakan kas gereja!", itulah perkataan yang sudah terlalu sering aku dengar di rapat pengurus gereja. "Kita tidak boleh sembarang memberikan uang atau bantuan kepada orang. Kita harus lihat dulu motivasinya apa. Jangan-jangan punya niat jahat. Jangan-jangan jadi ketergantungan. Jangan-jangan kita diperalat. Kita harus berdoa dulu berulang-ulang sebelum kita memberikan bantuan!", kata pak penatua. Ah, seandainya ada kasih karunia yang melimpah-limpah di gereja, kita tidak pernah pusing soal ditipu atau diperalat.

Bukankah kasih karunia mengajarkan kita untuk membalas kejahatan dengan kebaikan?Bukankah kasih karunia mengajarkan kita untuk selalu memberi tanpa mengharap balasan? Bukankah kasih karunia membuat kita tetap setia mengasihi dan percaya seseorang bisa dan mungkin berubah karena kita gemar menabur perbuatan baik kepada dia? Bukankah kasih karunia Kristus diberikan pada semua orang tanpa memandang motivasi? Bukankah Yesus mati bagi semua orang di muka bumi dan bukan hanya bagi mereka yang menyebut diri Kristen? Bukankah justru karena kita dibanjiri dengan kasih karunia yang melimpah-limpah yang semestinya tidak layak kita terima, kita malah diubah karenanya menjadi pribadi yang mengasihi Kristus?

Gereja masa kini bukan disetir oleh kasih karunia, namun disetir oleh tujuan-tujuan. Karena indahnya visi dan misi gereja, maka segala hal yang lain pun dikorbankan. Jikalau saja gereja mau berbalik melihat ke sekitarnya, dimana ada banyak orang yang berteriak minta tolong padanya untuk ditolong dan diselamatkan, maka gereja akan mengalami sebuah terobosan besar dan menjadi gereja yang disetir oleh kasih karunia. Ini kan teladan dari Yesus?!

Kotbah pak pendeta sudah selesai. Aku tersadar dari lamunanku. Kantong persembahan disodorkan padaku. Kukeluarkan seribu terakhirku. Dan tiba-tiba sekelumit pikiran terlintas di benakku. Apa gunanya aku ada di tempat itu. "Gereja ini tidak menjawab kebutuhanku!" pikirku. Aku mulai merancangkan, hari ini adalah hari terakhir aku datang ke tempat ini. Aku semakin yakin dan yakin akan keputusanku. Aku lalu bangkit berdiri.

Pak pendeta sudah mengangkat tangannya untuk memberikan berkat kepada jemaat. Dan aku berjalan gontai keluar tanpa menunggu kata-katanya selesai. Saat itu di pintu gereja, seseorang menyapaku. Rupanya ia tidak masuk ruangan gereja. Hanya berdiri di luar selama ibadah berlangsung. Wajahnya seperti wajah orang kebanyakan, sederhana, dan agak gembel. Dia tersenyum padaku dan menatapku dengan tajam.

Orang itu berkata kepadaku dengan suaraNya yang agung, "Anak-Ku, sekarang kau tahu apa artinya itu kasih karunia yang berlimpah-limpah. Maukah kau menunjukannya pada orang-orang yang ada disini? Maukah kau mengampuni mereka dengan tanpa alasan, tanpa mengharap mereka untuk berubah seperti yang telah Ku-buat padamu? Maukah kau jadi kaki dan tangan-Ku bagi mereka? Maukah kau jadi mulutKu buat mereka? Maukah kau memberikan kasih karunia yang melimpah-limpah itu? maukah kau ampuni mereka seperti kau sudah Kuampuni? Maukah kau menjadi alatKu untuk memperbaiki rumahKu ini?"

Aku jawab, "Aku mau Tuhan…, forgive me for being such a jerk dan menghakimi semua orang."

Jumat, Februari 12, 2010

Terobsesi pada Tuhan (3) Unreasonable

Sampailah kita pada bagian ketiga dalam penjelasan tentang obsesi yaitu kata unreasonable.

Bulan Desember 2009, Indonesia menerima sebuah kebanggaan. Bandara Soekarno Hatta menjadi Bandara terbaik ke-2 dunia dalam hal ketepatan waktu.

Haaaaahhhhh????!!!! Nomor 2 dunia??? Dalam hal ketepatan waktu????

Terus terang saya kaget ketika pertama mendengar berita ini. Di detiknews tercantum "Untuk mengumpulkan daftar ini, kita mempertimbangkan 50 bandara tersibuk di dunia yang ditentukan Airports Council International (ACI)," ujar Forbestraveler.com. Bagaimana ini bisa terjadi? Pasti karena di baliknya ada orang yang terobsesi untuk memperbaiki keadaan. Ada orang yang berniat sungguh-sungguh untuk mencapai suatu hal yang tidak masuk akal. Sejak dulu Indonesia dikenal sebagai bangsa jam karet. Tukang telat. Dan ternyata terbukti bahwa hal itu bisa dibalikkan. Indonesia menjadi juara 2 dalam hal ketepatan waktu. Hebat!!

Dalam tinjauan psikologi irasional, orang bertindak irasional atau unreasonable dikarenakan prinsip trade-off. Maksudnya orang akan bersedia melakukan hal-hal yang tidak masuk di akal apabila mengejar keuntungan yang berada di balik perilaku irasional itu. Dengan kata lain, semakin besar efek menyenangkan yang nantinya akan didapat, semakin berani seseorang melakukan tindakan irasional. Contohnya David Beckham, bersedia berlatih berjam-jam sehari lebih lama dari teman se-timnya sampai melupakan kegiatan lain, karena ia terobsesi untuk menjadi yang terbaik.

Nah, bila kita bayangkan kenikmatan yang kita dapatkan bila Tuhan kita senangkan, maka seharusnya kita akan mau melakukan hal-hal yang dianggap orang lain tidak rasional. Inilah yang dimaksud dengan istilah unreasonable. Bersedia melakukan hal-hal yang tidak masuk akal demi tercapainya suatu obsesi, dalam hal ini obsesi menyenangkan Tuhan.

Yesus sering dinilai ahli taurat dan orang Farisi sebagai orang yang tidak rasional. Misalnya menyembuhkan orang pada hari Sabat, 'membela' pelacur yang tertangkap basah, makan di rumah orang berdosa, ngobrol sama orang Samaria, ngapain coba? Ternyata ini obsesinya Yesus:

  • Luk 19:10 Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang."

Ngapain rasul-rasul itu pergi keliling dunia, mengabarkan Injil. Bukannya enak di rumah? Itulah salah satu contoh tindakan unreasonable, yang pasti ditimbulkan oleh sebuah obsesi untuk menyenangkan Tuhan mereka. Lebih ngeri lagi, pengakuan Paulus di bawah ini:

  • 2Co 11:23b ....Aku lebih banyak berjerih lelah; lebih sering di dalam penjara; didera di luar batas; kerap kali dalam bahaya maut. 24 Lima kali aku disesah orang Yahudi, setiap kali empat puluh kurang satu pukulan, 25 tiga kali aku didera, satu kali aku dilempari dengan batu, tiga kali mengalami karam kapal, sehari semalam aku terkatung-katung di tengah laut. 26 Dalam perjalananku aku sering diancam bahaya banjir dan bahaya penyamun, bahaya dari pihak orang-orang Yahudi dan dari pihak orang-orang bukan Yahudi; bahaya di kota, bahaya di padang gurun, bahaya di tengah laut, dan bahaya dari pihak saudara-saudara palsu. 27 Aku banyak berjerih lelah dan bekerja berat; kerap kali aku tidak tidur; aku lapar dan dahaga; kerap kali aku berpuasa, kedinginan dan tanpa pakaian,
Kenapa Paulus mau menanggung perkara yang tidak rasional ini? Karena ia sendiri mengalami pertemuan pribadi dengan Yesus yang sudah bangkit, dalam perjalanan Paulus ke Damsyik. Apa obsesi Paulus? Menjadi saksi Tuhan.

  • Act 22:14 … Allah nenek moyang kita telah menetapkan engkau untuk mengetahui kehendak-Nya, untuk melihat Yang Benar dan untuk mendengar suara yang keluar dari mulut-Nya. 15 Sebab engkau harus menjadi saksi-Nya terhadap semua orang tentang apa yang kaulihat dan yang kaudengar.

Satu lagi deh contohnya, Maria Magdalena.

  • Joh 12:3 Maka Maria mengambil setengah kati minyak narwastu murni yang mahal harganya, lalu meminyaki kaki Yesus dan menyekanya dengan rambutnya; dan bau minyak semerbak di seluruh rumah itu. 4 Tetapi Yudas Iskariot, seorang dari murid-murid Yesus, yang akan segera menyerahkan Dia, berkata: 5 "Mengapa minyak narwastu ini tidak dijual tiga ratus dinar dan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin?"

Coba kita analisis. Maria adalah seorang yang bersyukur atas diselamatkannya dia dari hukuman rajam. Dia juga bersyukur atas kebangkitan Lazarus. Ini adalah dasar yang cukup bagi dia untuk menjadi terobsesi menyenangkan Yesus. Dan yang dia lakukan adalah hal yang unreasonable. Ia "membuang" uang demi Yesus. Namun Yesus disenangkan.

Bandingkan Maria dengan Yudas. Pasti Yudas memiliki lebih banyak waktu untuk mendengarkan Yesus. Yudas memiliki lebih banyak waktu bersama Yesus dibandingkan Yesus bersama Maria. Yudas lebih banyak menyaksikan mujizat. Namun tindakannya justru sebaliknya. Ia mencela seseorang yang mau menyenangkan Yesus. Mengapa? Karena Yudas hanya terobsesi pada kesenangan dirinya sendiri.

Kalau kita lihat diri kita di depan cermin, siapakah yang terpampang di cermin? Yudas atau Maria? Orang yang bersedia melakukan tindakan yang gak masuk akal demi menyenangkan Tuhan atau orang yang memanfaatkan Tuhan demi kesenangan kita sendiri? Saatnya introspeksi ...

Kamis, Februari 11, 2010

Terobsesi pada Tuhan (2) Preoccupation

Dalam tulisan sebelumnya, saya mengupas tentang persistensi. Kali ini saya akan bahas unsur kata kedua yang terkandung dalam definisi obsesi, yaitu kata preoccupation yang sederhananya dapat diartikan 'keasyikan'. Mari kita lihat cerita Kain dan Habel berikut.

  • Kejadian 4:2 Selanjutnya dilahirkannyalah Habel, adik Kain; dan Habel menjadi gembala kambing domba, Kain menjadi petani. 3 Setelah beberapa waktu lamanya, maka Kain mempersembahkan sebagian dari hasil tanah itu kepada TUHAN sebagai korban persembahan; 4 Habel juga mempersembahkan korban persembahan dari anak sulung kambing dombanya, yakni lemak-lemaknya; maka TUHAN mengindahkan Habel dan korban persembahannya itu, 5 tetapi Kain dan korban persembahannya tidak diindahkan-Nya. Lalu hati Kain menjadi sangat panas, dan mukanya muram.
Tahukah saudara bahwa sebelum jaman Nuh, tidak ada orang yang memakan daging? Semua orang vegetarian. Baru setelah banjir besar, Nuh diijinkan Tuhan untuk memakan binatang. Ini buktinya:

  • Kejadian 2:16 Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: "Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas,

Binatang tidak diperintahkan untuk dimakan. Setelah banjir besar:

  • Kejadian 9:3 Segala yang bergerak, yang hidup, akan menjadi makananmu. Aku telah memberikan semuanya itu kepadamu seperti juga tumbuh-tumbuhan hijau.
Ada kata 'akan', berarti sebelumnya orang tidak makan 'segala yang bergerak dan yang hidup'. Lalu pertanyaannya, mengapa Habel memilih profesi sebagai penggembala domba? Bukankah domba itu tidak akan dimakannya? Jawabannya adalah karena dia begitu terobsesi dengan Tuhan. Habel tahu bahwa korban binatang adalah korban kesukaan Tuhan.

Waktu Adam dan Hawa jatuh dalam dosa, takut, dan bersembunyi karena dosa dan ketelanjangan mereka, Tuhan meng-cover mereka dengan cara menutupi tubuh Adam dan Hawa dengan kulit binatang. Itulah binatang pertama yang disembelih. Habel belajar bahwa itulah korban yang menyukakan hati Tuhan, korban yang menutupi dosa, korban yang membuat dia bisa menemui Tuhan.

Maka Habel begitu terobsesi untuk memberikan yang terbaik buat Tuhan. Ia persiapkan mulai dari menggembalakan, memelihara domba. Bukan untuk dimakan, tapi khusus untuk dipersembahkan. Itulah sebabnya persembahan Habel diterima Tuhan sedangkan Kain ditolak. Habel mempersiapkan persembahannya dengan 'asyik'. Itulah yang dinamakan preoccupation.

Saya mau ambil contoh seorang tokoh publik terkenal saat ini, Anies Baswedan. Berikut ini riwayat singkatnya yang saya temukan di internet (maaf lupa alamatnya).

  • Nama : Anies Rasyid Baswedan PhD (Cirebon, 7 Mei 1969)
  • Pendidikan:PhD, Departemen Ilmu Politik Northern Illinois University, AS (2005), Master of Public Management, International Security and Economic Policy University of Maryland School of Public Policy, College Park, AS (lulus tahun 1998), Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (lulus tahun 1995), Kajian Asia, Sophia University, Tokyo, Jepang (non-degree, 1993).
  • Beasiswa dan penghargaan:Gerald Maryanov Fellow, Northern Illinois University (2004-2005), Indonesian Cultural Foundation Scholarship (1999-2003), William P Cole III Fellowship, Universitas Maryland (1998), Fulbright Scholarship (1997-1998), ASEAN Students Assistance Awards Program (1998), JAL Scholarship (1993), AFS Intercultural Program, SMA di Milwaukee, Wisconsin, AS (1987).
  • Pengalaman kerja, antara lain:Rektor Universitas Paramadina, Jakarta (sejak Mei 2007), Direktur Riset The Indonesian Institute Center for Public Policy and Analysis, Jakarta (sejak November 2005), Kemitraan untuk Reformasi Tata Kelola Pemerintahan (Januari 2006-Mei 2007), peneliti pada Pusat Penelitian, Evaluasi, dan Kajian Kebijakan, Northern Illinois University (tahun 2000), Pusat Antar Universitas, UGM (1994-1996).

Bagaimana dia bisa seperti ini? Lihat tahun kelahirannya. Masih sangat muda dan sudah berprestasi global! Menurut cerita dosen saya yang seangkatan dengan dia, Anies ini orang yang berwawasan global dan jauh ke depan. Ia mengatur langkahnya sejak dari awal. Ia persiapkan dirinya untuk mencapai lingkup global. Bila ada pemilihan senat tingkat fakultas, dia tidak ikut. Ikutnya tingkat universitas. Begitu juga ketika kuliah di luar negeri. Ia tidak hanya kuliah, Ia berkarya, menjalin relasi. Mempersiapkan dirinya. Itulah yang saya maksud dengan preoccupation. Menganggap apa yang dikerjakan adalah sesuatu yang mengasyikkan.

Lihat Yusuf, ia mempersiapkan hidupnya. Dalam tahap manapun di hidupnya, ia selalu melakukan yang terbaik dan terus memandang ke tujuan akhir, walaupun apa yang ada di hadapannya sepertinya tidak mendukung mimpinya. Setiap pekerjaannya dia lakukan dengan asyik. Dan orang yang melakukan sesuatu dengan 'keasyikan' pasti akan menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari rata-rata orang lain. Lihat saja Habel.

  • Ibrani 11:4 Karena iman Habel telah mempersembahkan kepada Allah korban yang lebih baik dari pada korban Kain. Dengan jalan itu ia memperoleh kesaksian kepadanya, bahwa ia benar, karena Allah berkenan akan persembahannya itu dan karena iman ia masih berbicara, sesudah ia mati.
Bagaimana dengan kita? Apakah kita punya obsesi? Apakah kita menjalaninya dengan asyiknya? Atau berprinsip 'que sera sera, whatever will be will be'? Ayo rencanakan masa depanmu.

Dalam hubungan dengan Tuhan, persiapkan diri kita dengan penuh keasyikan untuk melayani Dia. Pasti apa yang akan kita hasilkan akan lebih baik dari rata-rata orang lain. Setuju gak?

(bersambung ke unreasonable)

Rabu, Februari 10, 2010

Terobsesi pada Tuhan (1) Persistent

Kolose 3:23 Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.

Col 3:23 Whatever you do, do it wholeheartedly as though you were working for your real master and not merely for humans. (versi God's Word).

Mungkin kita sering membaca ayat di atas, namun menerapkan ayat itu dalam kehidupan sehari-hari adalah sesuatu yang belum tentu dapat kita lakukan. Ayat di atas jelas mengatakan bahwa apapun yang kita lakukan bukan untuk manusia. Ini adalah perintah.

Kata wholeheartedly (sepenuh hati) yang dimaksud dalam ayat ini berasal dari kata psuche yang dapat diartikan breath, spirit, life, mind, soul. Jadi ayat di atas bermaksud mengatakan bahwa ekstrimnya, dalam hal bernapas pun, kita harus melakukannya untuk Tuhan. Hidup ini semuanya ditujukan kepada Allah.

Semua orang pasti memiliki obsesi. Definisi obsesi adalah gagasan, khayalan atau dorongan yang berulang, tidak diinginkan dan mengganggu, yang tampaknya konyol, aneh atau menakutkan.

Dari kamus Webster, obsesi diartikan sebagai “persistent disturbing preoccupation with an often unreasonable idea or feeling; broadly : compelling motivation ” Ada 3 kata kunci dalam definisi ini yang akan saya bahas secara berseri, yaitu kata persistent, preoccupation, dan unreasonable.

Mari kita kupas satu per satu 3 kata kunci di atas.

1. Persistent

Persistent artinya keteguhan, ketetapan, atau bahasa jawanya ngeyel. Biasanya mengandung pengertian 'nggak tahu malu'. Ada pepatah jawa yang terkenal, namun sering kita potong separo. Pepatah itu berkata, "giyak-giyak ben kecandak, alon-alon waton kelakon". Artinya cepat-cepatlah agar tercapai, namun kalau belum bisa tercapai, pelan-pelan gak papa asal tetap tercapai. Ini persis dengan yang dimaksud dengan persistent. Tidak berhenti sampai tujuan tercapai.

Dalam Lukas 8:43-44 ada contoh:

  • Luk 8:43 Adalah seorang perempuan yang sudah dua belas tahun menderita pendarahan dan yang tidak berhasil disembuhkan oleh siapapun. 44 Ia maju mendekati Yesus dari belakang dan menjamah jumbai jubah-Nya, dan seketika itu juga berhentilah pendarahannya.

Dikatakan bahwa wanita ini tidak berhasil disembuhkan oleh siapapun. Artinya dia coba kemana-mana. Dia berusaha untuk sembuh. Itulah persistensi. Contoh lain ada dalam cerita Yakub ketika bertemu dengan malaikat.

  • Kejadian 32:24-26 Lalu tinggallah Yakub seorang diri. Dan seorang laki-laki bergulat dengan dia sampai fajar menyingsing. 25 Ketika orang itu melihat, bahwa ia tidak dapat mengalahkannya, ia memukul sendi pangkal paha Yakub, sehingga sendi pangkal paha itu terpelecok, ketika ia bergulat dengan orang itu. 26 Lalu kata orang itu: "Biarkanlah aku pergi, karena fajar telah menyingsing." Sahut Yakub: "Aku tidak akan membiarkan engkau pergi, jika engkau tidak memberkati aku."

Yakub berkata, "Aku tidak akan membiarkan engkau pergi, jika engkau tidak memberkati aku." Ini persistensi. Yesus sendiri juga mengajarkan kita untuk persisten, walaupun bukan berarti memaksakan kehendak kita kepada Tuhan. Tapi kita harus terus meminta selama Tuhan belum menjawab 'tidak'! Ni ayatnya:

  • Luk 11:5 Lalu kata-Nya kepada mereka: "Jika seorang di antara kamu pada tengah malam pergi ke rumah seorang sahabatnya dan berkata kepadanya: Saudara, pinjamkanlah kepadaku tiga roti, 6 sebab seorang sahabatku yang sedang berada dalam perjalanan singgah ke rumahku dan aku tidak mempunyai apa-apa untuk dihidangkan kepadanya; 7 masakan ia yang di dalam rumah itu akan menjawab: Jangan mengganggu aku, pintu sudah tertutup dan aku serta anak-anakku sudah tidur; aku tidak dapat bangun dan memberikannya kepada saudara. 8 Aku berkata kepadamu: Sekalipun ia tidak mau bangun dan memberikannya kepadanya karena orang itu adalah sahabatnya, namun karena sikapnya yang tidak malu itu, ia akan bangun juga dan memberikan kepadanya apa yang diperlukannya.

Yesus berkata, "karena sikapnya yang tidak tahu malu itu, …" inilah persistensi.

Banyak orang memiliki kecenderungan untuk berhenti sebelum tujuannya tercapai. Putus asa ketika ada tembok yang menghalangi. Dan itu membuat orang tidak akan pernah mencapai hal yang maksimal dalam hidupnya. Bayangkan wanita pendarahan itu, atau Yakub, Yusuf, Daud, dll.. bila mereka berhenti ketika ada masalah... wanita itu tidak akan sembuh dan mereka yang lain tidak akan mencapai puncak karir mereka.

Dalam hidup saudara adakah persistensi? Dalam 'mengejar Tuhan' apakah ada persistensi? Apakah saudara 'ngeyel' untuk tetap bertemu Tuhan? Dalam mengejar tujuan hidup saudara, apakah saudara persisten? Seperti seorang pendaki gunung yang belum akan berhenti sebelum mencapai puncak, marilah kita miliki sikap persisten. Ayo jangan berhenti di tengah jalan... selesaikan!

(bersambung ke preoccupation)

Selasa, Februari 02, 2010

Mall vs Pasar ditinjau dari Learning Process

Proses belajar selalu menghasilkan perubahan perilaku yang menetap sebagai hasil dari adanya latihan yang disengaja. Jadi proses belajar bukan disebabkan perubahan yang otomatis, misalnya karena kemasakan, penyakit, atau kejadian yang tidak disengaja. Perubahan yang terjadipun bersifat tetap bukan sementara.

Adakah pengaruh proses belajar dalam proses pemilihan tempat berbelanja?

Pasar tradisional memiliki karakteristik yang khas, yaitu ramai, becek, susunan barang yang tidak beraturan, dan harga yang tidak pasti. Bagi sebagian orang, belanja di pasar tradisional adalah kenikmatan tersendiri. Namun bagi kaum tertentu pula, belanja di pasar tradisional menimbulkan stress tersendiri. Di pasar tradisional ada tawar-menawar, basa-basi serta beragam sentuhan humanis yang lain. Namun, keberadaan pasar tradisional makin lama makin terpinggirkan, sejalan dengan menjamurnya mall. Fenomena ini menurut saya dapat dijelaskan dari adanya proses belajar dalam diri pembeli.

Pemilihan tempat berbelanja adalah perilaku yang timbul dari perilaku belajar. Saat ini banyak orang lebih memilih berbelanja di mall daripada di pasar tradisional. Mengapa hal ini dapat terjadi?

Dalam teori belajar, secara singkat bisa kita katakan bahwa, perilaku yang berakibat menyenangkan akan diulang, dan perilaku yang berakibat tidak menyenangkan akan dihindari. Di bawah ini, akan dibahas satu persatu, ciri pasar tradisional dan ciri mall. Kedua hal itu akan dikaikan dengan proses belajar dan proses pengambilan keputusan dalam memilih tempat berbelanja.

Pasar Tradisional

Ketika seseorang pergi berbelanja bahan makanan di pasar tradisional, dia akan menemui banyak keadaan yang tidak menyenangkan. Diantaranya lokasi yang biasanya kotor, becek, berbau, ramai, panas, dan banyak ketidaknyamanan lain.

Dalam hal antri. Di pasar, tidak ada budaya antri. Siapapun yang datang di sebuah lapak atau kios, dapat langsung menyela pembicaraan penjual dan pembeli lain yang lebih dulu datang. Dalam hal pembayaran pun demikian. Seseorang harus berebut untuk dilayani. Ini menimbulkan ketidaknyamanan tersendiri.

Tidak ada kejelasan tempat produk. Semua diletakkan begitu saja, bercampur satu sama lain. Tidak rapi dan tidak menarik susunannya. Kalaupun ada pengelompokan, sangat banyak variasinya. Begitu pula soal harga. Tidak ada harga yang baku. Ketika seseorang yang tidak biasa datang ke sebuah pasar, pasti akan kebingungan dengan situasi kacau yang ada di pasar. Ini tentu saja juga menambah ketidaknyamanan. Dalam proses mental manusia, kondisi tidak menyenangkan ini akan berusaha untuk dihindari atau dihilangkan.

Mall

Berbeda dengan di mall, terdapat banyak hal menyenangkan yang ada di mall. Lokasinya yang bersih, terawat, berpendingin udara, dan segalanya tertata dan terorganisir dengan baik. Banyak aktivitas lain juga yang bisa dilakukan di mall selain berbelanja.

Harga setiap produk tercantum dengan jelas. Tempat penjualan produknya pun jelas terkelompok dengan baik. Ketika seseorang mencari suatu produk, mereka dengan mudah menemukannya. Ada petunjuk yang jelas. Dan harganya pun segera diketahui. Ini sangat menguntungkan pembeli dalam banyak hal. Tidak ada pemborosan waktu karena harus mencari-cari barang, maupun tawar menawar harga, yang belum tentu dimenangkan oleh pembeli. Banyak lagi keuntungan daripada berbelanja di mall, yang secara otomatis otak kita merekam bahwa peristiwa-peristiwa itu menyenangkan.

Hal ini dicatat dalam mental kita sebagai peristiwa yang menyenangkan. Perilaku ini menimbulkan efek rekreatif. Dan sesuai teori belajar, perilaku yang menyenangkan akan berusaha diulangi.

Kesimpulan

Seseorang yang pergi ke pasar untuk berbelanja, akan menemukan banyak ketidaknyamanan. Dan ketika hal itu berulang-ulang terjadi akan timbul asosiasi negatif. Asosiasi negatif yang terbentuk adalah berbelanja di pasar, rasanya tidak menyenangkan.

Sementara itu, seseorang yang masuk untuk berbelanja di mall, merasakan kenyamanan. Dan ketika dia melakukannya berulang-ulang, maka dia belajar bahwa berbelanja di mall lebih enak daripada di pasar. Di mall tidak perlu berdesak-desakan, dan berbagai ketidaknyamanan lain yang sudah dijelaskan di atas.

Maka, orang memilih lebih suka berbelanja di mall daripada di pasar tradisional. Namun kesimpulan ini masih harus diuji dengan penelitian untuk mempertanyakan variabel lain yang berpengaruh. Misalnya pengaruh jenis kelamin, pengaruh kepribadian, sikap, motivasi, dan lain-lain. Begitu pula dengan lokasinya. Apakah kota besar,sedang, ataukah pedesaan. Menurut asumsi saya, akan berbeda pemilihannya.

Namun yang terpenting adalah, apapun pilihannya, antara berbelanja di pasar tradisional atau di mall, dalam proses pemilihan itu pasti dipengaruhi oleh proses belajar. Bila menyenangkan akan diulang, bila tidak menyenangkan akan dihindari.

Daftar Pustaka

  • Antonides, Gerrit, Psychology in Economics and Business, An Introduction to Economic Psychology, Kluwer Academic Publishers, Netherlands, 1951.

Fenomena Bunuh Diri pada Anak Kecil

Akhir-akhir ini banyak sekali berita tentang anak yang melakukan bunuh diri. Berikut tinjauan psikologis dari perilaku bunuh diri pada anak dan tindakan prevensi yang sebaiknya dilakukan.

A. Penyebab Bunuh Diri

Bunuh diri adalah bukan disebabkan sebuah kondisi sesaat sebelum bunuh diri (precipitating event), namun merupakan akumulasi dari kondisi psikologis yang dialami anak (Rahmawati, 2004).

Santrock (dalam Rahmawati, 2004) mengatakan bahwa bunuh diri disebabkan oleh depresi yang melanda pelakunya. Depresi didahului oleh frustasi, dan frustasi didahului oleh stres. Depresi dapat terjadi pada anak karena berbagai faktor antara lain faktor kognitif, biogenetis, dan lingkungan sosial.

B. Penyebab Masalah

Psikoanalisa memandang tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh individu adalah agresifitas yang tinggi dalam menyerang dirinya sendiri. Konsep ini didasarkan pada teori Freud tentang insting mati (death instinct) atau thanatos. Freud menyatakan bahwa kehilangan kontrol ego individu, menjadi penyebab individu tersebut melakukan bunuh diri. Bunuh diri merujuk pada suatu manifestasi kemarahan kepada orang lain yang dialihkan kepada diri sendiri (Hall, 1993).

Menurut logoterapi, sindroma ketidakbermaknaan adalah sumber dari masalah. Menurut Frankl (2003), seseorang yang tidak menemukan makna hidup akan mengalami sindroma ketidakbermaknaan (syndrom of meaninglessness). Sindroma ini terdiri dari dua tahapan yaitu kevakuman eksistensi (existential vacum) dan neurosis noogenik. Kevakuman eksistensial terjadi ketika hasrat akan makna hidup tidak terpenuhi. Gejala-gejala yang ditimbulkan dari kevakuman eksistensial ini antara lain perasaan hampa, bosan, kehilangan inisiatif, dan kekosongan dalam hidup. Fenomena ini merupakan fenomena yang menonjol pada masyarakat modern saat ini. Hal ini dikarenakan pola masyarakat modern yang sudah terlalu jauh meninggalkan hal-hal yang bersifat religius dan moralitas. Frankl menekankan bahwa kevakuman eksistensialis bukanlah sebuah penyakit dalam pengertian klinis. Frankl menyimpulkan bahwa frustasi eksistensi adalah sebuah penderitaan batin ketika pemenuhan akan hasrat untuk mempunyai hidup yang bermakna terhambat (Bastaman, 2007).
Neurosis noogenik merupakan sebuah gejala yang berakar pada kevakuman eksistensialis. Neurosis ini terjadi apabila kevakuman eksistensialis disertai dengan simptom-simptom klinis. Permasalahan patologis tersebut berakar pada dimensi spiritual dan noologis yang berbeda dengan neurosis somatogenik (neurosis yang berakar pada fisiologis) maupun neurosis psikogenik (neurosis yang berakar pada permasalahan psikologis). Neurosis noogenik itu sendiri dapat timbul dengan berbagai neurosis klinis seperti depresi, hiperseksualitas, alkoholisme, narkoba, dan kejahatan (Koeswara, 1990).

Pada kasus anak yang bunuh diri, anak menemukan kebuntuan dalam hidupnya karena tidak dapat menemukan makna dari penderitaan yang dialaminya. Anak secara naluriah belum mampu untuk memodifikasi sikap dan mempertahankan diri terhadap penderitaan yang dialami. Hal ini diperkuat dengan kondisi anak yang lemah secara psikologis, kurangnya dukungan sosial, maupun buruknya kondisi lingkungan di sekitar anak.

Kondisi anak yang lemah psikologis, misalnya adalah anak yang berpendidikan rendah, memiliki pemahaman religius yang rendah, tidak stabil, dan kemungkinan mengalami mood disorder. Bunuh diri sering kali diasosiasikan dengan gangguan mood. Paling kurang, 15 % individu dengan depresi, sukses melakukan bunuh diri (www.mentalhelath.net). Lebih dari 60 % kasus bunuh diri (75 % bunuh diri pada remaja) diasosiasikan dengan adanya gangguan mood. Lebih lanjut, meskipun ditemukan jika depresi dan bunuh diri sangatlah terikat erat satu sama lainnya, namun depresi dan bunuh diri masih berdiri sendiri. Kebanyakan, perasaan terisolasi dan kehilangan harapan (bagian dari depresi) adalah hal yang sangat bisa menyebabkan terjadinya bunuh diri.

Kurangnya dukungan sosial, misalnya orang tua yang selalu menyalahkan, terlalu banyak menuntut, kurang perhatian, tidak memberikan dukungan keuangan yang cukup kepada anak karena miskin, atau orang-orang terdekat yang sering mengejek atau menghina kekurangan si anak.

Buruknya kondisi lingkungan di sekitar anak, misalnya pengaruh siaran televisi yang menyiarkan hedonisme, konsumerisme, kekerasan, atau situasi lain yang mendukung adanya sarana untuk bunuh diri (situasi rumah yang sepi, ketersediaan bahan-bahan untuk bunuh diri, dll).

C. Prevensi

1. Primary Prevention Practice

Dalam merancang prevensi terhadap kasus bunuh diri pada anak, tulisan ini menggunakan skema dari Martin Bloom (1996), yang menjadi dasar dari prevensi dan intervensi kasus-kasus penyimpangan individu.

a. Meningkatkan kekuatan individu (Increasing individual strengths) dan mengurangi kelemahan individu (decreasing individual limitation)

Saya mengusulkan memasukkan pendidikan mental positif semacam search for meaning berbasis logoterapi pada anak. Bukti penelitian ada pada disertasi Wimberly (2006). Sebuah penelitian yang tercantum dalam disertasi yang berjudul Impact of Logotherapy on At-Risk African American Elementary Students yang dilakukan oleh Wimberly (2006).

Penelitian ini dilakukan pada anak kelas 5 dan 6 SD keturunan Afrika-Amerka yang berresiko untuk memiliki masalah kenakalan remaja di kota-kota yang berpopulasi sedang di Amerika bagian selatan. Sebelum dikenakan treatment konseling, kelompok treatment dan kelompok kontrol dikenakan pretes yang berupa PIL (Purpose in Life) test dan NSLOC (Nowicki Strickland Locus of Control) test. Setelah itu kelompok treatment mendapatkan konseling selama delapan minggu, dan kelompok kontrol tidak mendapatkan konseling itu. Kemudian setelah delapan minggu, kedua kelompok dites kembali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok treatment mendapatkan hasil yang signifikan dalam peningkatan skor PIL, NSLOC, dan berdasar hasil observasi guru terhadap perilaku dalam kelas mereka, menunjukkan perubahan positif setelah menjalani treatment logoterapi. Sedangkan pada kelompok kontrol yang tidak menerima treatment justru menunjukkan hasil penurunan skor dan perubahan negatif dalam perilaku kelas.

Pemerintah dan swasta bekerjasama untuk menyediakan beasiswa atau program orangtua asuh untuk anak-anak miskin yang berresiko untuk mengalami depresi. Sekolah-sekolah mengadakan asesmen dan melakukan pendataan pada anak-anak yang berresiko depresi dan mengalami kecenderungan bunuh diri.

Menambah kualitas pendidikan agama yang diberikan pada anak di sekolah. Pendidikan agama ini diharapkan memberikan pemahaman tentang makna hidup, dan menumbuhkan harapan pada Tuhan.

b. Meningkatkan dukungan sosial (increasing social support) dan mengurangi tekanan sosial (decreasing social stresses)

Memberikan penyuluhan dan pengertian pada orang tua tentang adanya kenyataan permasalahan ini. Begitu juga figur pengganti orang tua seperti tetangga, guru, dan teman.
Memberikan bekal kepada orang tua untuk tidak terlalu menuntut hal-hal yang tidak mungkin kepada anak. Menyebarluaskan kesadaran pada masyarakat agar tidak memberikan tekanan berlebih kepada anak.

c. Meningkatkan kemudahan yang ditimbulkan dari lingkungan fisik dan mengurangi kesulitan yang ditimbulkan dari lingkungan fisik

Menanamkan kewaspadaan kepada semua pihak akan besarnya kemungkinan terjadinya kasus bunuh diri pada anak, sehingga dapat bekerja sama menanggulangi hal tersebut. Menyaring tayangan-tayangan kekerasan dan kriminal yang menyebabkan anak terbiasa untuk melihat kematian.

Dalam psikologi lingkungan dikenal istilah environmental numbness (ketumpulan terhadap lingkungan). Ketika seseorang sudah terbiasa pada keburukan lingkungannya, maka ia menjadi tidak lagi terpengaruh oleh keburukan itu. Contohnya seseorang yang tinggal di dekat pasar, lama kelamaan tidak lagi merasakan bahwa pasar itu ribut atau bau, karena sudah terbiasa. Begitu pula dalam kasus kekerasan dan kriminalitas. Ketika seseorang begitu sering melihat adegan kekerasan, kriminal, dan kematian maka ia tidak lagi memandang hal itu sebagai sebuah tragedi atau peristiwa yang luar biasa. Maka perlulah semua pihak mengontrol lingkungan agar tidak memberi pengaruh negatif pada anak.

2. Pendekatan Sistem

Diperlukan pula pendekatan sistem dalam kasus bunuh diri pada anak ini. Secara makro pemerintah perlu mengoreksi berbagai kebijakan dalam hal kurikulum pendidikan yang terlalu berat dan menimbulkan stres, biaya pendidikan yang sangat mahal, biaya hidup yang melonjak, program kesehatan mental masyarakat, seleksi penyiaran yang lebih ketat pada media cetak dan elektronik, pendidikan keagamaan yang baik, dan perbaikan situasi ekonomi secara keseluruhan.

Daftar Pustaka

  • Bastaman, H. D. (2007). Logoterapi: Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
  • Bloom, M. (1996). Primary Prevention Practises, Issues in Children's and Families' Lives Volume 5. California: Sage Publications.
  • Frankl, V.E. (2003). Logoterapi, Terapi Psikologi melalui Pemaknaan Eksistensi. Alihbahasa oleh Murtadio. Yogyakarta: KreasiWacana.
  • Hall, C.S., Lindzey, G. (1993). Teori-teori Psikodinamik (Klinis). Editor Dr. A. Supraktinya. Yogyakarta: Kanisius.
  • Koeswara, E. (1992). Logoterapi, Psikoterapi Viktor Frankl. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
  • Rahmawati, N. (2004). Mengapa Anak Nekat Bunuh Diri?, Suara Merdeka, Wacana, 6 Agustus 2004.
  • Wimberly, C.L. (2006). Impact of Logotherapy on At-Risk African American Elementary Students. A Dissertation in Counselor Education. Texas Tech University.