Halaman

Sabtu, November 27, 2010

Berubah atau Punah

Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. (Rom 12:2)

Orson Welles menulis sebuah karya terkenal tentang seekor kalajengking dan katak. Ceritanya demikian.

Suatu kali ada seekor kalajengking yang ingin menyeberang sungai. Karena ia tidak bisa berenang, ia meminta bantuan katak yang kebetulan mau menyeberang.

"Nggak!" kata katak. "Kalau aku membiarkan kamu naik ke punggungku, kamu pasti menyengatku. Sengatmu itu beracun, aku pasti mati."

"Ah... ya nggak mungkin.." jawab kalajengking. "Kalau aku menyengatmu, bukan cuma kamu yang mati, aku juga akan tenggelam kan..?!"

Maka katak berhasil diyakinkan, dan mau membawa kalajengking itu di punggungnya. Mereka pun menyeberang sungai.

Ketika mereka sampai di tengah sungai, tiba-tiba katak merasakan sakit yang teramat sangat di punggungnya. Katak mulai menyadari bahwa ternyata kalajengking itu yang menyengatnya.

"Haaahhh... katamu kamu tidak akan menyengatku!" seru si katak yang sekarat itu. "Tindakanmu sangat tidak masuk akal! Kamu tau kan bahwa kita berdua akan mati?!"

"Yah.. aku tahu!" jawab si kalajengking yang kebingungan, karena mulai tenggelam. "Tapi aku nggak tahan, itu memang sudah karakterku, aku nggak bisa berubah!!"

Spencer Johnson dalam bukunya yang terkenal berjudul 'Who moved my cheese' juga menekankan hal ini, "Berubahlah! kalau tidak Anda akan punah!"

Dari cerita di atas kita tahu bahwa orang yang tidak dapat berubah akan merugikan bukan hanya dirinya sendiri, melainkan orang lain juga. Ia bagaikan kalajengking yang sudah tahu bahwa ia harus mengubah karakternya namun tetap tidak mau berubah. Dan bukan hanya katak yang binasa karena karakter si kalajengking, ia sendiri pun binasa.

Bandingkan tokoh Alkitab, Simson dengan Paulus.

Simson adalah orang yang tidak mau berubah. Roh Allah pun meninggalkannya. Kebiasaan buruknya terus menerus dilakukan. Akhir hidupnya berakhir dengan mengenaskan.

Sedangkan Paulus, hidupnya berubah total, Roh Allah bekerja luar biasa dalam hidupnya. Ia pun menjadi berkat bagi banyak orang.

Mau jadi siapakah kita? Orang jenis Simson atau Paulus? Mari kita introspeksi diri, berubahlah ke arah yang lebih baik. Buang yang buruk, lakukan yang baik.

Senin, Agustus 02, 2010

Gembala Pematah Kaki

Psa 119:67 Sebelum aku tertindas, aku menyimpang, tetapi sekarang aku berpegang pada janji-Mu. 68 Engkau baik dan berbuat baik; ajarkanlah ketetapan-ketetapan-Mu kepadaku.

Aku melihat seorang gembala yang sedang duduk di hadapan seekor dombanya. Ia tampak sedang membalut kaki domba yang terbaring lemah di hadapannya itu.

Gembala itu menoleh dan berkata kepadaku, “Kakinya patah!"

"Wah... kenapa?" tanyaku.

"Aku yang sengaja mematahkannya,” kata gembala itu sembari menyelesaikan pekerjaannya membalut kaki dombanya yang patah.

Tidak habis pikir, aku bertanya kepadanya, “Mengapa engkau melakukan perbuatan bodoh itu?”

“Aku ini sudah berpengalaman. Berpuluh tahun aku menggembalakan domba. Aku tahu cara mengatasi domba yang nakal, yang tidak bisa diatur, dan selalu tidak menuruti gembalanya." jawab sang Gembala.

Ia melanjutkan, "Domba ini adalah yang paling nakal dari semuanya. Banyak kali aku menghabiskan waktu untuk mencari dia kemana-mana karena ia tidak pernah menuruti aku. Ia selalu membuat keributan dan berkelahi dengan teman-temannya.

Beberapa hari yang lalu aku memutuskan untuk mematahkan kakinya karena aku ingin dia menjadi domba yang baik."

"Berhasil nggak?" tanyaku penasaran.

"Seminggu pertama ia memang membenciku. Ia bahkan menggigit tanganku jika aku memberinya makan. Tetapi aku terus melakukannya dengan sabar dan sejak kemarin sikapnya berubah terhadapku.

Ia membaringkan kepalanya di pangkuanku, mengambil makanan dari tanganku dan menggosok-gosokkan badannya ke tanganku. Karena ia lemah, ia belajar mendengar suaraku dan kini ia sangat kenal pada suaraku. Ia tahu bahwa aku menyayangi dia sehingga ia belajar bergantung padaku.

Aku yakin ketika keadaannya pulih kembali, ia akan menjadi domba yang terbaik dari semua domba-dombaku.” Jawab gembala itu.

Psa 119:71 Bahwa aku tertindas itu baik bagiku, supaya aku belajar ketetapan-ketetapan-Mu.

Rabu, Juli 28, 2010

Sindrom "Harus Menang"

Sekali-sekali nulis tentang sepakbola ya...

Seperti menjadi sebuah rutinitas, kerusuhan sepakbola kembali terjadi. Intensitasnya selalu makin meningkat. Rasanya hampir setiap pertandingan sepakbola, selalu diwarnai dengan tindakan anarkis.

Sepotong petikan syair dari lagu "Garuda di Dadaku" oleh Netral mengatakan, "Ku yakin, hari ini pasti menang." Lirik ini tampaknya dianut dengan penuh semangat oleh para suporter. Menjadi sebuah mantera yang dinyanyikan. Diyakini kebenarannya dan diharapkan kenyataannya.

Das Sein vs Das Sollen

Dunia ini tidak selalu berjalan sesuai yang kita ingini. Kita akrab dengan istilah das sein dan das sollen; harapan dan kenyataan. Permasalahan akan selalu terjadi apabila harapan tidak sesuai dengan kenyataan.

Dalam setiap pertandingan selalu ada tiga kemungkinan yang terjadi. Menang, kalah, atau seri. Sederhana sekali, bila kesebelasan satunya menang, kesebelasan lain pasti kalah. Atau bisa juga dua-duanya tidak ada yang menang alias seri.

Disini baru terasa bahayanya apabila setiap suporter dari kedua kelompok memiliki mantera di dadanya "kuyakin hari ini pasti menang". Maka setiap orang akan menjadi yakin kesebelasannya pasti menang dan harus menang. Dan yang terjadi adalah akan ada pihak yang sangat kecewa atau malah dua-duanya kecewa kalau hasilnya seri.

Kekecewaan terjadi apabila apa yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Semakin yakin sesuatu yang diharapkan itu akan terjadi, semakin besar kekecewaannya bila hal itu tidak terwujud. Semakin yakin pasti menang, semakin besar kecewanya kalau kalah.

Maka, tidak heran bila suporter bisa menjadi sangat beringas kalau kesebelasannya tidak menang. Marah kepada wasit, kepada pemain lawan, kepada sistem, kepada penjaga garis, kepada PSSI, kepada kursi stadion, bahkan marah kepada orang lewat yang tidak tahu apa-apa. Karena pikiran mereka mengatakan 'kita pasti menang'. Maka kalau kita tidak menang pasti pihak lain yang salah. Pihak lain yang curang.

Tujuan atau Proses?

Dalam teori organisasi, Ada beberapa pendekatan dalam menilai keefektifan organisasi. Dua diantaranya adalah goal attainment approach dan system approach (Robbins, 1990). Pada pendekatan pertama, efektifitas organisasi dinilai berdasar keberhasilan dalam pencapaian tujuan. Pendekatan kedua ditekankan pada sistem atau proses dalam pencapaian tujuan.

Pada pendekatan pencapaian tujuan, seluruh energi dan komponen organisasi akan diarahkan untuk mencapai tujuan. Prosesnya tidak penting. Kredonya adalah mencapai tujuan bagaimanapun caranya. Pada konteks sepakbola, main sepakbola itu tujuannya untuk menang. Maka organisasi, dalam hal ini sebuah kesebelasan sepakbola, akan menggunakan segala cara untuk menang dan harus menang. Tujuan lebih penting daripada proses.

Sebaliknya pada pendekatan proses, organisasi tidak terlalu memperhatikan hasil. Bagi penganut pendekatan ini, proses yang baik otomatis akan memberi hasil yang terbaik yang mereka bisa. Yang lebih penting adalah tujuan jangka panjang. Maka seluruh energi akan diarahkan dalam bidang pembinaan, untuk menciptakan proses yang baik. Dalam konteks sepakbola, cantiknya permainan lebih penting daripada hasil akhir. Orang-orang seperti inilah yang mampu membuang bola ke luar lapangan ketika melihat musuhnya terluka. Hanya orang yang berorientasi pada proses yang mampu merelakan hasil demi melakukan permainan cantik. Proses lebih penting daripada tujuan.

Kemampuan Kalah

Kemampuan menerima kekalahan adalah sesuatu yang jarang sekali diajarkan. Mungkin kita ingat pada saat kita masih kecil. Apabila kita berlarian, menabrak meja, dan jatuh, orang tua spontan saja akan memukul meja itu sambil berkata, "Meja nakal! Meja jahat! Sudah ya jangan nangis, Nak. Nih mejanya dipukul papa!"

Tanpa disadari, sebagai orang tua kita menanamkan nilai yang salah. Apabila kita gagal, pihak lain yang salah. Sejak kecil, kita jarang diajari untuk bertanggungjawab atas perbuatan kita sendiri. Kita jarang diajari untuk menerima kekalahan.

Dari sisi teori psikologi sosial, ada istilah locus of control eksternal dan internal. Sederhananya dari sisi manakah kita menilai segala sesuatu, dari dalam diri kita atau dari luar diri kita. Contohnya, apabila kesebelasan sepakbolanya kalah bertanding, orang yang locus of control-nya eksternal akan berkata, "Ini gara-gara wasitnya buruk, pemain lawan curang lagi!". Sebaliknya bila orang yang memiliki locus of control internal akan berkata, "Ini gara-gara kami bermain buruk dan kurang latihan." Mana yang lebih baik?

Kesediaan untuk mengakui kehebatan orang lain adalah salah satu komponen yang diperlukan manusia untuk dapat beradaptasi dalam dunia yang kompetitif ini. Seharusnya kita belajar untuk mengakui kekurangan kita dan memuji kehebatan orang lain. Belajar mengevaluasi diri sehingga tidak melakukan kesalahan yang sama. Itulah sportivitas. Itulah esensi dari olahraga. Itulah yang seharusnya ditekankan oleh para pengurus olahraga di negara kita.

Indahnya, bila setiap pemain diajari untuk melakukan yang terbaik, tanpa peduli apapun hasilnya. Melatih skillnya, melatih motivasinya, sekaligus melatih kemampuan untuk menerima kekalahan. Pendidikan ke suporter juga menjadi hal yang krusial. Fanatisme kedaerahan tidak perlu lagi ditonjolkan.

PSSI sebagai induk organisasi sepakbola punya kewajiban untuk mengubah paradigma kebermaknaan dalam sepakbola. Main cantik akan lebih baik daripada menang karena main brutal, tabrak sana-tabrak sini.

Dalam salah satu iklan yang sering muncul akhir-akhir ini, seorang pemain batal menendang bola ke gawang lawan, karena kiper lawan terluka. Dan suporter lawan digambarkan memberikan tepuk tangan atas tindakan pemain itu. Sungguh sebuah kondisi ideal yang rasanya ada di awang-awang bagi persepakbolaan kita. Mungkinkah itu terjadi dalam dunia sepakbola kita? Mari kita bangun sepakbola Indonesia menjadi sepakbola yang sportif.

Selasa, Mei 04, 2010

Appreciating The Process

When I was a kid, my mom liked to make breakfast food for dinner every now and then. And I remember one night in particular when she had made breakfast after a long, hard day at work.

On that evening so long ago, my mom placed a plate of eggs, sausage and extremely burned biscuits in front of my dad. I remember waiting to see if anyone noticed!

Yet all my dad did was reach for his biscuit, smile at my mom and ask me how my day was at school... I don't remember what I told him that night, but I do remember watching him smear butter and jelly on that biscuit and eat every bite!

When I got up from the table that evening, I remember hearing my mom apologize to my dad for burning the biscuits. And I'll never forget what he said: "Honey, I love burned biscuits."

Later that night, I went to kiss Daddy good night and I asked him if he really liked his biscuits burned.

He wrapped me in his arms and said, "Your Momma put in a hard day at work today and she's real tired. And besides - a burned biscuit never hurt anyone!"

Life is full of imperfect things.....and imperfect people. I'm not the best at hardly anything. But what I've learned over the years is that learning to accept each others faults - and choosing to celebrate each others differences - is one of the most important keys to creating a healthy, growing, and lasting relationship.

"Don't put the key to your happiness in someone else's pocket - keep it in your own."

Senin, April 12, 2010

You are what you wish (Self-fulfilling Prophecy)

Seorang pria miskin berjalan ke dalam hutan sambil meratapi nasibnya yang penuh dengan kesusahan.

Ia beristirahat di bawah pohon. Ternyata pohon ini adalah pohon ajaib yang bisa mengabulkan semua permohonan dari semua orang yang berada dekat dengan pohon itu. Apapun yang dipikirkan dan dikatakan akan menjadi kenyataan.

Pria itu sangat haus dan ingin minum. Tiba-tiba secangkir air dingin segar muncul di tangannya. Terkejut, pria itu melihat seksama air tersebut. Setelah merasa air itu aman, ia meminumnya.

Pria itu kemudian merasa lapar dan ingin sesuatu untuk makan. Sepiring makanan muncul di hadapannya.

“Keinginanku terkabul,” ia berpikir setengah tidak percaya. “Kalau begitu aku ingin memiliki rumah yang bagus milikku sendiri, “ ia berteriak dengan keras. Rumah itu secara ajaib muncul di sebelahnya. Senyum lebar muncul di muka pria itu.

Ia lalu meminta pelayan, untuk merawat rumahnya. Ketika pelayan itu muncul, pria itu sadar bahwa ia telah dikaruniai dengan keajaiban.

Pria itu lalu meminta seorang wanita cantik, pintar, dan mencintai dirinya untuk mendampinginya. Keinginannya pun terkabul.

“Tunggu, ini aneh,” kata pria itu pada si wanita,”Aku tidak mungkin seberuntung ini. Hal ini tidak mungkin terjadi padaku. Paling-paling sekarang ini aku lagi mimpi.”

Saat ia bicara … tiba-tiba ia tertidur, dan ketika ia terbangun semuanya menghilang. Semuanya benar-benar MENJADI hanya mimpi.

Kemudian pria itu menganggukkan kepala dan berkata,”Betul kan!” Kemudian pria itu berjalan lagi, pergi sambil meratapi nasibnya yang penuh kesusahan.

Moral of the story: Be careful of what you say and wish, cause you're gonna get it.

Jos 1:8 Janganlah engkau lupa memperkatakan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam, supaya engkau bertindak hati-hati sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya, sebab dengan demikian perjalananmu akan berhasil dan engkau akan beruntung.

Sabtu, April 10, 2010

Are you the man?

Carilah seorang pria yang memanggilmu cantik, bukan sexy,

Tunggulah seorang laki-laki yang mencium dahimu,

Yang menggenggam tanganmu di depan teman2nya,

Yang menganggap kamu tetap cantik tanpa riasan..

Seseorang yang selalu mengingatkanmu,

betapa besar kepeduliannya padamu

dan betapa beruntungnya dia memilikimu..

Seseorang yang berkata pada temannya:

dialah orangnya…

Jumat, April 09, 2010

Giving vs Selling

Bill Gates died and, much to everyone's surprise, went to Heaven.

When he got there, he had to wait in the reception area, which was about the size of Massachusetts. There were millions of people living in tents. Food and water were being distributed from the backs of trucks, while staffers with clipboards slowly worked their way through the crowd.

Bill lived in a tent for three weeks until, finally, a staffer in his late teens approached him. The young man was wearing a blue T-shirt with the words TEAM PETER emblazoned on it in large yellow letters.

"Hello," said the staffer in a bored voice. "My name is Gabriel and I'll be your induction coordinator."

Bill started to ask a question, but Gabriel interrupted him. "No, I'm not the Archangel Gabriel. I'm a guy from Philadelphia named Gabriel who died in a car wreck at 17. Now give me your name, last name first, unless you were Chinese, in which case it's first name first."

"Gates, Bill."

Gabriel started searching through the sheaf of papers on his clipboard, looking for Bill's Record of Earthly Works.

"What's going on here?" asked Bill. "Why are all these people here? Where's St. Peter? Where are the pearly gates?"

Gabriel ignored the questions until he located Bill's records. "It says here that you were the president of a large software company. Is that right?"

"Yes."

"Well do the math! When this St. Peter business started, it was easy. Only a hundred or so people died every day, and Peter could handle it by himself."

"But now there are over five billion people on earth. When God said to 'go forth and multiply,' he didn't say 'like rabbits!' Ten thousand people die every hour, over a quarter-million a day. Do you think Peter can meet them all personally?"

"I guess not."

"You guess right. So he had to franchise the operation. Now, Peter is the CEO of Team Peter Enterprises, Inc. Franchisees like me handle the actual inductions."

Gabriel looked though his paperwork some more and then continued. "Your paperwork seems to be in order. And with a background like yours, you'll be getting a plum job assignment."

"Job assignment?"

"Of course. Did you expect to spend eternity sitting on your bum and drinking ambrosia? Heaven is a big operation. You have to pull your weight around here!"

Gabriel took out a triplicate form, had Bill sign at the bottom, and then tore out the middle copy and handed it to Bill. "Take this down to induction center no. 23 and meet up with your occupational coordinator. His name is Abraham--and no, he's not that Abraham."

Bill walked to induction center no. 23 and met with Abraham after a mere six-hour wait.

"Heaven is centuries behind in building its data-processing infrastructure, " explained Abraham.

"As you've seen, we're still doing everything on paper. It takes us a week just to process new entries. Your job will be to supervise Heaven's new data processing center."

"We're building the largest computing facility in creation. Half a million computers connected by a multisegment fiber-optic network, all running into a back-end server network with a thousand CPUs on a gigabit channel. Fault tolerant, distributed processing, the works."

Bill could barely contain his excitement. "Wow! What a great job! This is really Heaven!"

"We're just finishing construction, and we'll be starting operations soon. Would you like to go see the center now?"

"You bet!"

Abraham and Bill caught the shuttle bus and went to Heaven's new data processing center. It was a truly huge facility, a hundred times bigger than the Astrodome. Workers were crawling all over the place, getting the miles of fiber optic cables properly installed.

But the center was dominated by the computers. Half a million computers, arranged nearly row-by-row, half a million... Linux ... all running Star Office software! Not a single windows in sight! Not a single byte of Microsoft code!

The thought of spending eternity using products he had spent his whole life working to destroy was too much for Bill.

"What about PCs???" he exclaimed. "What about Windows??? Excel??? Word???"

"You're forgetting something," said Abraham.

"What's that?" asked Bill plaintively.

"This is Heaven," explained Abraham. "If you want to build a data processing center based on PCs running Windows, then you'll have to go elsewhere!"

Hahahaha... Sorry Bill ...

Senin, April 05, 2010

Get Your Wildest Dreams

Efesus 3:20 God can do anything, you know--far more than you could ever imagine or guess or request in your wildest dreams! He does it not by pushing us around but by working within us, his Spirit deeply and gently within us.

Wow... saya suka dengan ayat ini. Coba saya singkat: God can do anything far more than you could ever request in your wildest dreams! (penekanan oleh penulis)

What is your wildest dreams? Jadi orang super kaya? Super ganteng? Super terkenal? Super dermawan mungkin? Tapi lihat kenyataannya sekarang? Jangan-jangan kita saat ini adalah orang yang super miskin, super jelek, super pelit... hehehe...

Ada contoh nih. Coba kita lihat sederetan 'prestasi' orang ini:

  • Tahun 1831 dia mengalami kebangkrutan usaha.
  • Tahun 1832 dia menderita kekalahan dalam pemilihan tingkat lokal.
  • Tahun 1833 usahanya bangkrut lagi.
  • Tahun 1835 istrinya meninggal dunia.
  • Tahun 1836 dia menderita tekanan mental yang sangat berat dan hampir saja masuk rumah sakit jiwa.
  • Tahun 1837, dia kalah dalam suatu kontes pidato.
  • Tahun 1840, ia gagal dalam pemilihan anggota senat AS.
  • Tahun 1842, dia menderita kekalahan untuk duduk di dalam kongres AS.
  • Tahun 1848 ia kalah lagi di kongres.
  • Tahun 1855, lagi-lagi gagal di senat.
  • Tahun 1856 ia kalah dalam menduduki kursi wakil presiden.
  • Tahun 1858 ia kalah lagi di senat.

Akhirnya:

  • Tahun 1860 akhirnya dia menjadi presiden Amerika Serikat.
Siapakah dia? Dialah Abraham Lincoln. Kira-kira kenapa ya dia harus mengalami berbagai kegagalan dalam hidupnya? Menurut saya, karena apa yang akan dia hadapi dalam pekerjaannya sebagai Presiden Amerika Serikat memerlukan ketahanan mental yang besar. Dan Tuhan mempersiapkannya dengan baik. Apa yang terjadi bila Abe berhenti di tengah jalan? Tidak mau menjalani proses yang Tuhan beri? Ya hidupnya akan gitu-gitu aja.

Maka jangan pernah menyerah dengan berbagai kegagalan yang pernah dialami, bahkan sedalam apapun kejatuhan kita. Beda orang sukses dan orang gagal hanya satu. Orang sukses ketika jatuh akan bangkit lagi, orang gagal ketika jatuh akan diam di tempatnya dan menyesali berbagai hal.

Ayo bangkit! Maju terus! Saya percaya, Tuhan telah menyediakan sesuatu yang luar biasa di ujung perjalanan kita.

Kamis, April 01, 2010

Love and Get Loved

A mother held her new baby and very slowly rocked him back and forth, back and forth, back and forth. And while she held him, she sang:

  • I'll love you forever
  • I'll like you for always,
  • As long as I'm living
  • My baby you'll be

The baby grew. He grew and he grew and he grew. He grew until he was two years old, and he ran all around the house. He pulled all the books off the shelves. He pulled all the food out of the refrigerator and he took his mother's watch and flushed it down the toilet.

Sometimes his mother would say, "This kid is driving me CRAZY!"

But, at night time, when that two-year-old was quiet, she opened the door to his room, crawled across the floor, looked up over the side of his bed; and if he was really asleep she picked him up and rocked him back and forth, back and forth, back and forth. While she rocked him she sang:

  • I'll love you forever
  • I'll like you for always,
  • As long as I'm living
  • My baby you'll be.

The little boy grew. He grew and he grew and he grew. he grew until he was nine years old. And, he never wanted to come in for dinner, he never wanted to take a bath, and when grandma visited he always said bad words.

Sometimes his mother wanted to sell him to the zoo!

But at night time, when he was asleep, the mother quietly opened the door to his room, crawled across the floor and looked up over the side of the bed. If he was really asleep, she picked up that nine-year-old boy and rocked him back and forth, back and forth, back and forth. And while she rocked him she sang:

  • I'll love you forever
  • I'll like you for always,
  • As long as I'm living
  • My baby you'll be.

The boy grew. he grew and he grew and he grew. He grew until he was a teenager. He had strange friends and he wore strange clothes and he listened to strange music.

Sometimes the mother felt like she was in a zoo!

But at night time, when that teenager was asleep, the mother opened the door to his room, crawled across the floor and looked up over the side of the bed. If he was really asleep she picked up that great big boy and rocked him back and forth, back and forth, back and forth. While she rocked him she sang:

  • I'll love you forever
  • I'll like you for always,
  • As long as I'm living
  • My baby you'll be.

That teenager grew. He grew and he grew and he grew. He grew until he was a grown-up man. He left home and got a house across town.

But sometimes on dark nights the mother got into her car and drove across town. If all the lights in her son's house were out, she opened his bedroom window, crawled across the floor, and looked up over the side of his bed. If that great big man was really asleep she picked him up and rocked him back and forth, back and forth, back and forth. And while she rocked him she sang:

  • I'll love you forever
  • I'll like you for always,
  • As long as I'm living
  • My baby you'll be.

Well, that mother...she got older. She got older and older and older.

One day she called up her son and said, "You better come see because I'm very old and sick."

So her son came to see her. When he came in the door she tried to sing the song. She sang:

  • I'll love you forever
  • I'll like you for always....

But she couldn't finish because she was too old and sick. The son went to his mother. He picked her up and rocked her back and forth, back and forth, back and forth. And he sang this song:

  • I'll love you forever,
  • I'll like you for always,
  • As long as I'm living
  • My Mommy you'll be.
(Disadur dari: I'll Love You Forever by Robert Munsch)

Selasa, Maret 16, 2010

Review Buku: Leadership Challenge (Kouzes & Posner)

Buku ini bagus banget. Dimulai dari pertanyaan, apakah leader itu memang terlahir leader, atau leader dapat diciptakan? Apakah leader itu semacam orang yang dari sononya 'the choosen one' atau setiap orang mampu menjadi pemimpin yang baik jika mau belajar? Buku ini percaya bahwa setiap orang dapat dilatih menjadi pemimpin.

Ada lima Ciri kepemimpinan:

1. Challenging the Process.

  • Pemimpin selalu mengevaluasi proses yang sudah dilakukan.
  • Pemimpin selalu mencari alternatif untuk mengubah status quo.
  • Ia berani mencoba-coba dan mengambil risiko, dan bersedia menerima kegagalan dan kekecewaan sebagai bagian dari proses belajar.

2. Inspiring a Shared Vision

  • Pemimpin selalu membagikan visinya.
  • Pemimpin melihat masa depan.
  • Ia menyertakan orang lain dalam mimpinya, dan membuat orang lain bergairah melihat kemungkinan-kemungkinan di masa depan.

3. Enabling Others to Act

  • Pemimpin selalu memampukan orang lain untuk bertindak.
  • Ia mengembangkan kolaborasi dan membangun tim, memperkuat orang lain dengan cara membagi informasi, memberikan pilihan-pilihan.
  • Ia berani mendelegasikan kekuasaannya sehingga membuat setiap orang merasa mampu dan memiliki kuasa.

4. Modelling the Way

  • Pemimpin selalu menjadi model.
  • Ia membuat standar dan memberikan contoh dalam menjalani standar itu.

5. Encouraging the Heart

  • Pemimpin selalu membesarkan hati.
  • Ia mampu mengenali kontribusi orang lain dalam mencapai puncak, merayakan keberhasilan, dan mampu membuat setiap orang merasa seperti pahlawan.

Ada 3 cara belajar untuk menjadi pemimpin yang baik:

1. Trial and error

  • Learning by doing adalah cara belajar paling efektif. Calon pemimpin harus berani mencari tugas yang semakin bervariasi untuk meningkatkan visibilitas, bekerja dengan bermacam orang untuk meningkatkan pengalaman, dan belajar menghadapi kesulitan dan krisis akan melatih timbulnya self-insight.

2. Observation of others

  • Setiap calon pemimpin perlu memiliki:
  1. mentor: memberikan pengenalan dan menunjukkan arah yang benar
  2. sesama teman: berguna untuk memberi feedback yang jujur dan memberi nasehat
  3. orang luar yang menjadi model, misalnya tokoh sejarah
  4. manager langsung: manager yang baik akan membantu mempercepat kemajuan. Manager yang buruk akan menciptakan stres dalam kerja.

  • Menurut saya, calon pemimpin yang memiliki manager yang buruk lebih beruntung daripada yang memiliki manager yang baik. Contoh yang baik dapat dilihat dari berbagai sumber. Namun dengan memiliki manager yang buruk, calon pemimpin dapat sungguh-sungguh belajar dan merasakan akibat dari kepemimpinan yang buruk, sehingga dia tidak akan melakukannya kelak saat sudah menjadi pemimpin.

3. Education: training kepemimpinan.

  • Peter Drucker, mengatakan bahwa sumber daya ekonomi yang paling berharga bukan lagi modal, sumber daya alam, atau sumber daya manusia, melainkan pengetahuan.

Akhirnya, kepercayaan dan kredibilitas adalah bagian yang sangat penting untuk dimiliki pemimpin. Hanya orang yang mempercayai pemimpin yang dapat dipengaruhi oleh pemimpin. Hal ini hanya bisa didapat bila perilaku pemimpin itu konsisten dengan perkataannya.

Senin, Maret 15, 2010

Movie Analysis: The Last Samurai

Beberapa waktu lalu, saya mencoba menganalisis kepemimpinan yang ada di film the Last Samurai. Ini sebagian hasilnya. Ada 4 pertanyaan yang saya ajukan, who, whom, why, dan how. Banyak sekali yang bisa digali, ini sebagian kecil saja. Semoga pelajaran kepemimpinan ini bisa bermanfaat buat pembaca.

a. Who?

Dari sekian banyak pemimpin yang muncul dalam film ini, saya tertarik pada tokoh Kaisar. Kaisar inilah yang sebenarnya dapat mengendalikan seluruh cerita bahkan mengubah alur cerita bila dia melakukan fungsinya. Walaupun hanya muncul dalam beberapa adegan, namun sangat jelas diceritakan bagaimana pergumulan batin yang terjadi dalam diri Kaisar.

b. Whom?

Kaisar memerintah seluruh Jepang. Apa pun yang diputuskan Kaisar akan mempengaruhi hidup orang di seluruh Jepang.

c. How?

Kaisar dikelilingi oleh banyak penasehat. Dua penasehat yang menonjol adalah Omura dan Katsumoto. Omura adalah tokoh yang menganjurkan modernisasi dan memusuhi segala yang tradisional, karena memiliki kepentingan perdagangan senjata dengan pihak barat. Katsumoto adalah tokoh yang mempertahankan tradisionalisme.

Di antara kedua kutub ini, pada awal cerita, Kaisar memilih untuk mengikuti jalan Omura. Modernisasi dianggap sebagai cara untuk memajukan Jepang. Namun keputusan Kaisar untuk mengikuti modernisasi, adalah bukan keputusan Kaisar secara bulat. Kaisar takut untuk mengambil keputusan memihak para tradisionalisme karena tekanan dari pihak modernisasi. Kaisar sebenarnya mengingini jalan tengah. Seperti yang dikatakannya pada akhir cerita, kira-kira sebagai berikut:

  • "I dreamed of a unified Japan. Of a country strong and independent and modern. And now we have railroads and cannon and Western clothing. But we cannot forget who we are. Or where we come from."

Namun Kaisar mencari cara aman dalam melakukan kepemimpinannya. Dia tidak mau mengambil keputusan, yang sebenarnya sesuai dengan hati nuraninya. Kaisar sebenarnya sudah tahu keputusan apa yang seharusnya diambil, namun tidak mampu menahan tekanan dari penasehatnya Omura. Dengan kata lain, kepemimpinannya hanyalah disetir oleh Omura. Kaisar menyetujui saja, apa pun yang dianjurkan oleh Omura, tanpa mempertimbangkan akibat-akibatnya terhadap seluruh rakyat. Kepemimpinannya hanya berupa posisi, namun tidak berfungsi. Dapat dikatakan bahwa kepemimpinannya adalah kepemimpinan yang gagal.

d. Why?

Kaisar di Jepang, begitu diagungkan sebagai wakil dari dewa. Kaisar berada di istana dan tidak pernah berkesempatan untuk meninjau keadaan negerinya. Ia hanya mendengar laporan dari penasehat-penasehatnya. Ini membuat Kaisar tidak tahu apa yang terjadi sesungguhnya di bawah. Ini akan membuat keputusan-keputusan yang diambil selanjutnya semakin salah. Pelajaran yang saya dapat, seorang pemimpin yang baik, seharusnya juga turun ke lapangan untuk meninjau sendiri keadaan sesuatu yang dipimpinnya. Dengan turun dan melihat langsung, pemimpin dapat langsung mengevaluasi keputusan-keputusannya maupun pelaksanaan dari keputusannya apabila ada yang tidak cocok dengan pikiran dari pemimpin.

Kaisar kurang menggunakan otoritasnya sebagai pengambil keputusan tertinggi. Dia sedikit banyak tahu bahwa tindakan yang dilakukan Omura terlalu berlebihan, namun tidak berdaya untuk mencegahnya. Pelajaran yang saya dapat, pemimpin harus berani bertindak tegas terhadap bawahan yang tidak menjalankan tugas dengan baik.

Kaisar kurang menyadari bahwa apa pun yang dia putuskan akan berakibat pada seluruh negeri. Dalam film ini, keputusannya dalam hal membiarkan Omura memegang kendali, akhirnya menyebabkan pembantaian dari seluruh Samurai yang ada dan semuanya mati, kecuali Algren (sehingga disebut The Last Samurai).

Pelajaran yang saya dapat, seorang pemimpin harus memikirkan baik-baik akibat dari keputusan yang dia keluarkan. Semakin tinggi lingkup pemimpin itu, semakin banyak orang yang harus menanggung akibat dari keputusan yang dia keluarkan.

Kaisar akhirnya mengambil keputusan yang benar dengan menyingkirkan Omura dari jajaran penasehatnya dan membatalkan pembelian senjata dari Ambasaddor Swanbeck, namun keputusan itu terlambat. Keputusan yang terlambat, walaupun benar, akan terlanjur mengakibatkan banyak kerusakan.

Pelajaran lain yang saya dapat, pemimpin disamping harus mengambil keputusan yang tepat, juga harus mengambil keputusan pada saat yang tepat. Bila terlambat atau terlalu cepat maka akan menyebabkan kerusakan.

Kamis, Maret 11, 2010

Penerapan Logoterapi dalam Kasus PTSD (Post Traumatic Stress Disorder)

Kasus di bawah ini diambil dari jurnal yang berjudul Using Frankl's Concepts with PTSD Clients oleh Jim Lantz.

1. Pemaparan Kasus

Betty mengalami mimpi buruk dan kilasan memori yang menakutkan sampai membuat dia menangis histeris, mengalami gangguan tidur, dan problem seksual. Hal-hal buruk ini dimulai segera setelah anak tertuanya berumur tujuh tahun.

Kilasan memorinya adalah tentang seorang lelaki dewasa yang melakukan hal buruk kepadanya. Betty mulai terbiasa minum minuman keras di malam hari dengan alasan supaya bisa tidur. Betty mulai tidak melakukan kewajiban-kewajiban rumah tangganya. Betty merasa selalu lelah dan tidak mau diajak berhubungan intim oleh suaminya. Betty malas berangkat kerja dan tidak lagi menikmati pekerjaannya.

2. Intervensi

Betty diberi tes PIL (Purpose in Life Test) yang dibuat oleh Crumbaugh and Maholick dan mendapat skor 86. Pada PIL test, skor kurang dari 92, berarti mengalami kekosongan eksistensi diri. Skor antara 93 dan 111, berarti subjek rentan terhadap kehilangan eksistensi. Skor lebih dari 112, berarti memiliki makna hidup dan tujuan hidup yang baik.

Logoterapis memberikan terapi pada Betty sejak 1984 sampai 1987. Melalui proses terapi, Betty diminta untuk mengingat dengan detail kejadian di masa kecilnya sebagai penerapan teknik intensi paradoks.

Betty dapat mengingat bahwa waktu dia berumur tujuh tahun (usia yang sama dengan anaknya ketika Betty mulai mengalami flashback ini), laki-laki yang tinggal di sebelah rumahnya sering meraba-raba Betty dan memaksa untuk melakukan oral sex, bahkan mengambil foto-foto mereka. Betty ingat bahwa laki-laki itu mengancam akan membunuh kedua orang tuanya bila Betty melaporkan perbuatan itu. Laki-laki itu sering membunuh binatang kecil di hadapan Betty untuk menunjukkan hal itu yang akan dilakukan pada orang tua Betty.

Betty juga diintimidasi dengan cara diberitahu laki-laki itu bahwa laki-laki itu melakukan segalanya karena kesalahan Betty. Menurut laki-laki itu, Betty yang menyebabkan laki-laki itu terangsang. Betty lah yang jahat dan kotor, karena membuat laki-laki itu berbuat dosa. Hal ini membuat Betty mengalami kevakuman eksistensial.

Betty dapat mengingat, pada umur delapan tahun dia menceritakan kejadian itu kepada orang tuanya, setelah laki-laki itu pindah dari sebelah rumahnya. Orang tuanya segera membawa Betty ke dokter, dan dokter berkata, "Tidak ada apapun yang terjadi. Tidak ada orang yang berbuat apa-apa kepada Betty." Semua kejadian dianggap hanya khayalan Betty.

Betty, suaminya, dan terapis percaya bahwa sangat penting untuk mengingat itu semua dan menceritakan pada orang lain tentang hal itu. Bagi Betty sangat penting untuk pergi ke polisi dan melaporkan kejadian yang sudah terjadi 19 tahun yang lalu. Penting juga bagi Betty untuk berbicara pada orang tuanya dan bertanya, "Mengapa waktu itu kalian tidak berbuat apa-apa?", dan menemukan bahwa orang tuanya memang saat itu tidak tahu harus melakukan apa, karena dokter hanya menyuruh mereka untuk mengabaikan hal itu dan anak ini akan melupakannya cepat atau lambat.

Bagi Betty sangat penting juga ketika mereka melakukan, upacara pernikahan ulang. Betty mengatakan bahwa dia berhenti merasa kotor setelah John 'membuktikan' bahwa dia tetap ingin menikahi Betty, setelah dia tahu apa yang terjadi pada Betty. Kehidupan seks mereka pun secara dramatis membaik setelah perkawinan ulang itu.

Elemen terakhir dalam terapi Betty, adalah penemuan bahwa Betty ternyata menjadi pendengar yang sangat baik bagi orang-orang yang mengalami perkosaan dan pelecehan. Dia menjadi relawan pada crisis center setempat dan menjadi ahli dalam bidang trauma dan teror. Bagi Betty, kerja relawannya adalah pemberian makna bahwa apa yang sudah terjadi dalam hidupnya berguna untuk membantu orang lain. Sehingga tidak lagi menjadi trauma.

3. Hasil

Pada tahap terminasi (1987), skor PIL Betty adalah 124. Dua tahun kemudian dievaluasi kembali dan skornya menjadi 127. Betty melaporkan bahwa tidak ada lagi depresi, masalah seksual, dan dia sudah benar-benar merasa nyaman dan bahagia.

4. Analisa Kasus berdasarkan Teori Logoterapi

Logoterapi bagi klien PTSD, mengharuskan klien untuk mengingat pengalaman traumatis secara detail, mengindentifikasi makna yang tersembunyi dalam trauma dan teror. Tujuan dari logoterapi ini adalah membuat korban trauma itu mengubah rasa bersalah karena masih hidup (survivor's guilt) dan menumbuhkan kesadaran akan makna bahwa pengalamannya itu berharga untuk diberikan kepada dunia.

Teknik Logoterapi yang diterapkan:

a. Paradoxical Intention

Betty diminta untuk mengingat dengan detail kejadian di masa kecilnya. Betty berhasil mengingat, pada waktu dia berumur tujuh tahun, laki-laki yang tinggal di sebelah rumahnya:

  • sering meraba-raba,
  • memaksa untuk melakukan oral sex,
  • mengambil foto-foto mereka,
  • mengancam akan membunuh kedua orang tuanya bila Betty melaporkan perbuatan itu,
  • membunuh binatang kecil di hadapan Betty untuk menunjukkan hal itu yang akan dilakukan pada orang tua Betty.

b. Identifikasi Proses Kehilangan Makna

Laki-laki itu memberitahu Betty, bahwa segalanya terjadi karena kesalahan Betty. Betty lah yang jahat dan kotor, karena membuat laki-laki itu terangsang dan berbuat dosa. Betty dapat mengingat, pada umur delapan tahun setelah laki-laki itu pindah, dia mengadu ke orang tuanya. Orang tuanya segera membawa Betty ke dokter, dan dokter berkata, "Tidak ada apapun yang terjadi. Tidak ada orang yang berbuat apa-apa kepada Betty." Semua dianggap hanya khayalan Betty.

c. Proses menghilangkan kevakuman eksistensi

Betty mengingat itu semua dan menceritakan pada orang lain tentang hal itu. Betty pergi ke polisi dan melaporkan kejadian yang sudah terjadi 19 tahun yang lalu. Betty untuk berbicara pada orang tuanya dan bertanya, "Mengapa waktu itu kalian tidak berbuat apa-apa?", dan menemukan bahwa orang tuanya memang saat itu tidak tahu harus melakukan apa, karena dokter hanya menyuruh mereka untuk mengabaikan hal itu dan anak ini akan melupakannya cepat atau lambat. Betty melakukan, upacara pernikahan ulang. Betty mengatakan bahwa dia berhenti 'merasa kotor' setelah John 'membuktikan' bahwa dia tetap ingin menikahi Betty, setelah dia tahu apa yang terjadi pada Betty.

d. Derefleksi

Betty ternyata menjadi pendengar yang sangat baik bagi orang-orang yang mengalami perkosaan dan pelecehan. Dia menjadi relawan pada crisis center setempat dan menjadi ahli dalam bidang trauma dan teror.

e. Medical Ministry

Bagi Betty, kerja relawannya adalah pemberian makna bahwa apa yang sudah terjadi dalam hidupnya berguna untuk membantu orang lain. Sehingga tidak lagi menjadi trauma.

Jumat, Februari 19, 2010

Sex, Religion, Mortality

More than three decades ago, psychologist Paul D. Cameron conducted a survey on how often the average person thinks about three of the most inscrutable phenomena in human experience: sex, religion, and death.

He polled 3,416 people at the University of Louisville asking them what they were thinking about in the preceding five minutes.

His results?

  • Young adults, age 18 to 25, think about sex at least once in any 10-minute period; middle-aged people, at least every 35 minutes; and people over 65, once an hour.
  • Young adults think about religion once every 25 minutes; middle-aged people, once every 15 minutes; older people, every 10 minutes.
  • Young people think about death every 25 minutes; old people every 15 minutes.

Though the figures may have shifted a tad in the intervening years, the basic fact remains, today and every day, that we humans are irrepressibly given to wrestling with the understanding of our sexuality, religion, and mortality, at both conscious and unconscious levels. What about you?

Kamis, Februari 18, 2010

Seribu Terakhir

Isa 57:10 Oleh perjalananmu yang jauh engkau sudah letih lesu, tetapi engkau tidak berkata: "Tidak ada harapan!" Engkau mendapat kekuatan yang baru, dan sebab itu engkau tidak menjadi lemah.

Di kantongku hanya tinggal seribu rupiah. Sudah lama aku nggak gajian. Pagi itu di gereja aku pejamkan mata. Kali ini aku gak peduli dengan teman-teman yang sedang mempersiapkan LCD, alat musik, kabel-kabel, dan pernik-pernik ibadah lain. "Tuhan, gimana nih?" hanya itu yang bisa kubilang pada Tuhan.

Tagihan besar menanti. Hutangku sudah sangat banyak. Kesalahan demi kesalahan dalam perhitungan keuangan membuat perusahaanku sudah terpuruk. Dan akhirnya berakibat pada kondisi ini. Seribu rupiah terakhir di kantongku.

Bertahun-tahun aku selalu memberikan perpuluhan dengan tepat bahkan berlebih kepada gereja. Tidak pernah aku memberi persembahan sebesar seribu rupiah. Dan aku lakukan itu semua dengan sukacita. Tapi pagi ini, dengan sedih hati aku hanya bisa memberikan seribu rupiah. Semoga masa krisis ini cepat berlalu pikirku.

Sambil menunggu ibadah dimulai, pikiranku melayang ke hari esok. Aku memikirkan tagihan delapan ratus ribu rupiah yang harus aku bayar esok pagi. Aku memikirkan uang jutaan lainnya yang harus aku keluarkan untuk membayar tagihan lain-lainnya lagi hari-hari berikutnya.

Pagi itu aku berharap sebuah keajaiban, sebuah jalan keluar, sebuah kemenangan seperti layaknya cerita-cerita mujizat yang sering aku dengar di gereja. Kuingat cerita seorang pendeta yang sering mendapatkan mujizat. Mobil tiba-tiba ada yang memberi, uang tiba-tiba ada di rekening. "Ah, kalau saja ada mujizat juga untukku…" gumamku lagi.

Tubuhku memang ada di kebaktian, namun pikiranku ada nun jauh dimana. Aku membayangkan andaikata aku benar-benar ada di hadirat Tuhan, tentu keadaannya akan banyak jauh berbeda. Hadirat Tuhan? Ini kan di gereja? Masa nggak ada hadirat Tuhan? Tapi jujur, itu yang kurasakan pagi itu. Seandainya saja gereja adalah sebuah solusi, sebuah jalan keluar, pasti semuanya akan beres.

Andaikan ada Yesus datang di ibadah ini, aku pasti minta tolong padaNya. "Tuhan, gimana nih? Masa gak tau penderitaanku?" seruku lagi dalam hati. Selanjutnya aku kaget. Ada suara samar-samar. Jauh. Menusuk ke dalam pikiranku. Aku dengar Yesus berkata, "Aku tahu anak-Ku. Bukan hanya tahu, tapi aku malah lebih tahu dari kamu tentang masalahmu."

"Tuhan, kalau begitu mengapa Kau tidak beri mujizat?" tuntutku lagi.

"Kamu tahu, Aku ini konsekuen. Konsisten. Semua kuasa sudah Ku-serahkan pada gerejaKu. Semua keputusan sudah Kuserahkan pada pimpinan-pimpinan gereja." Jawab Yesus. Dapat kurasakan kesedihanNya saat itu. Mungkin ada air mata di mata-Nya.

Kalau saja, kalau saja, kalau saja, gereja memang seperti yang Yesus mau. Seharusnya ketika aku datang ke gereja hari ini, aku bisa datang dengan air mata permasalahan. Aku tidak perlu pasang muka munafik tanpa masalah. Aku bisa bebas cerita semua masalah dan bebanku, tanpa perlu merasa malu dan tanpa perlu dihakimi sebagai 'kurang iman', 'tidak dewasa', dan 'kurang berdoa'. Aku seharusnya bisa menjatuhkan diriku di atas tangan kasih karunia gereja dan menemukan sebuah tempat aman, sebuah persembunyian.

Namun, jarang ada wajah bersahabat di gereja. Mereka seolah ingin mengatakan bahwa mereka sudah punya cukup banyak masalah di rumah karena itu jangan kau coba-coba ceritakan masalahmu. Dengan gampangnya mereka bisa menjawab masalahku dengan sebuah kata mutiara "doa dengan iman akan memindahkan semua gunung permasalahan", padahal yang sebenarnya dikatakan hati mereka ialah "Aku tidak peduli apapun masalahmu.".

Tanpa sadar, waktu penyembahan telah usai. Sekarang semua jemaat duduk manis sementara mendengarkan khotbah pak pendeta tentang penginjilan, membuka cabang, dan bagaimana jemaat harus berkorban memberi lebih banyak uang lagi, agar tersedia biaya untuk itu.

Tiba-tiba, bendahara gereja yang duduk di sebelahku membisikkan sesuatu, "Kapan kamu bayar iuran bulanan pengurus sekolah minggu?". Aduh Tuhan, bagaimana ini. Lalu dengan senyum aku menjawab dia dengan jawaban yang sama yang kukatakan padanya sebelumnya berkali-kali, "Besok ya.". Sudah tiga bulan aku nggak bayar iuran dan aku satu-satunya pengurus yang menunggak. "Oke, sekalian sama iuran natal ya besok!" jawabnya lagi. Hatiku tambah pedih rasanya.

Seandainya aku adalah salah satu murid Yesus, seandainya aku ada di gereja mula-mula di Kisah Para Rasul, tentu keadaannya akan jauh berbeda. Jawaban atas masalah keuanganku mungkin bukanlah perpuluhan. Jawabannya mungkin bukanlah dengan menabur lebih banyak. Jawabannya mungkin bukan dengan menambah jam doa. Jawabannya adalah jawaban.

Aku mulai membaca di Kisah Para Rasul demikian, "Dan dengan kuasa yang besar rasul-rasul memberi kesaksian tentang kebangkitan Tuhan Yesus dan mereka semua hidup dalam kasih karunia yang melimpah-limpah. Sebab tidak ada seorangpun yang berkekurangan di antara mereka; karena semua orang yang mempunyai tanah atau rumah, menjual kepunyaannya itu, dan hasil penjualan itu mereka bawa dan mereka letakkan di depan kaki rasul-rasul; lalu dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya."

Mereka memiliki kasih karunia yang melimpah-limpah. Ketika aku lihat jemaat sekitarku yang sedang mengangguk-angguk untuk mengatakan "Amin" kepada kata-kata pak pendeta, aku sadar jika gereja saat ini telah jauh dari gambaran gereja yang semula. Tampaknya tidak ada satu orang pun di sini yang peduli atau pun mau membantu kondisi keuanganku.

Mauku, gereja seharusnya adalah komunitas. Mauku, gereja adalah rumah. Mauku, gereja adalah keluarga. Aku bayangkan hebatnya gereja seperti itu. Kalau aku capek kerja seharian, waktu kepalaku hampir pecah dengan urusan kantor, aku selalu punya harapan untuk menutup hari dengan istirahat nyaman di rumah. Aku punya harapan karena aku tahu ketika aku sampai di rumah, tidak ada yang akan menghakimiku, tidak ada yang menyalahkanku, tidak ada yang membuat aku seperti orang bodoh, tidak, tidak ada. Aku bisa pakai baju yang sama berhari-hari di rumah tanpa satu orang pun menyebut aku miskin. Aku bisa istirahat, makan, tidur, santai, bahkan glegeken atau kentut di rumah tanpa khawatir kehilangan image. Ah andai saja gereja bisa menjadi sebuah rumah.

Memang rumah tidaklah menyelesaikan semua masalah. Masalah yang sama tetap ada di sana keesokan harinya, namun rumah adalah sebuah tempat peristirahatan. Rumah adalah tempat dimana aku bisa feel good dan melupakan semua masalah di luar karena aku selalu diterima di rumah. Rumah adalah tempat 'kasih karunia yang berlimpah-limpah' yang tidak ditemukan di tempat manapun yang lain.

"Kita harus hati-hati menggunakan kas gereja!", itulah perkataan yang sudah terlalu sering aku dengar di rapat pengurus gereja. "Kita tidak boleh sembarang memberikan uang atau bantuan kepada orang. Kita harus lihat dulu motivasinya apa. Jangan-jangan punya niat jahat. Jangan-jangan jadi ketergantungan. Jangan-jangan kita diperalat. Kita harus berdoa dulu berulang-ulang sebelum kita memberikan bantuan!", kata pak penatua. Ah, seandainya ada kasih karunia yang melimpah-limpah di gereja, kita tidak pernah pusing soal ditipu atau diperalat.

Bukankah kasih karunia mengajarkan kita untuk membalas kejahatan dengan kebaikan?Bukankah kasih karunia mengajarkan kita untuk selalu memberi tanpa mengharap balasan? Bukankah kasih karunia membuat kita tetap setia mengasihi dan percaya seseorang bisa dan mungkin berubah karena kita gemar menabur perbuatan baik kepada dia? Bukankah kasih karunia Kristus diberikan pada semua orang tanpa memandang motivasi? Bukankah Yesus mati bagi semua orang di muka bumi dan bukan hanya bagi mereka yang menyebut diri Kristen? Bukankah justru karena kita dibanjiri dengan kasih karunia yang melimpah-limpah yang semestinya tidak layak kita terima, kita malah diubah karenanya menjadi pribadi yang mengasihi Kristus?

Gereja masa kini bukan disetir oleh kasih karunia, namun disetir oleh tujuan-tujuan. Karena indahnya visi dan misi gereja, maka segala hal yang lain pun dikorbankan. Jikalau saja gereja mau berbalik melihat ke sekitarnya, dimana ada banyak orang yang berteriak minta tolong padanya untuk ditolong dan diselamatkan, maka gereja akan mengalami sebuah terobosan besar dan menjadi gereja yang disetir oleh kasih karunia. Ini kan teladan dari Yesus?!

Kotbah pak pendeta sudah selesai. Aku tersadar dari lamunanku. Kantong persembahan disodorkan padaku. Kukeluarkan seribu terakhirku. Dan tiba-tiba sekelumit pikiran terlintas di benakku. Apa gunanya aku ada di tempat itu. "Gereja ini tidak menjawab kebutuhanku!" pikirku. Aku mulai merancangkan, hari ini adalah hari terakhir aku datang ke tempat ini. Aku semakin yakin dan yakin akan keputusanku. Aku lalu bangkit berdiri.

Pak pendeta sudah mengangkat tangannya untuk memberikan berkat kepada jemaat. Dan aku berjalan gontai keluar tanpa menunggu kata-katanya selesai. Saat itu di pintu gereja, seseorang menyapaku. Rupanya ia tidak masuk ruangan gereja. Hanya berdiri di luar selama ibadah berlangsung. Wajahnya seperti wajah orang kebanyakan, sederhana, dan agak gembel. Dia tersenyum padaku dan menatapku dengan tajam.

Orang itu berkata kepadaku dengan suaraNya yang agung, "Anak-Ku, sekarang kau tahu apa artinya itu kasih karunia yang berlimpah-limpah. Maukah kau menunjukannya pada orang-orang yang ada disini? Maukah kau mengampuni mereka dengan tanpa alasan, tanpa mengharap mereka untuk berubah seperti yang telah Ku-buat padamu? Maukah kau jadi kaki dan tangan-Ku bagi mereka? Maukah kau jadi mulutKu buat mereka? Maukah kau memberikan kasih karunia yang melimpah-limpah itu? maukah kau ampuni mereka seperti kau sudah Kuampuni? Maukah kau menjadi alatKu untuk memperbaiki rumahKu ini?"

Aku jawab, "Aku mau Tuhan…, forgive me for being such a jerk dan menghakimi semua orang."

Jumat, Februari 12, 2010

Terobsesi pada Tuhan (3) Unreasonable

Sampailah kita pada bagian ketiga dalam penjelasan tentang obsesi yaitu kata unreasonable.

Bulan Desember 2009, Indonesia menerima sebuah kebanggaan. Bandara Soekarno Hatta menjadi Bandara terbaik ke-2 dunia dalam hal ketepatan waktu.

Haaaaahhhhh????!!!! Nomor 2 dunia??? Dalam hal ketepatan waktu????

Terus terang saya kaget ketika pertama mendengar berita ini. Di detiknews tercantum "Untuk mengumpulkan daftar ini, kita mempertimbangkan 50 bandara tersibuk di dunia yang ditentukan Airports Council International (ACI)," ujar Forbestraveler.com. Bagaimana ini bisa terjadi? Pasti karena di baliknya ada orang yang terobsesi untuk memperbaiki keadaan. Ada orang yang berniat sungguh-sungguh untuk mencapai suatu hal yang tidak masuk akal. Sejak dulu Indonesia dikenal sebagai bangsa jam karet. Tukang telat. Dan ternyata terbukti bahwa hal itu bisa dibalikkan. Indonesia menjadi juara 2 dalam hal ketepatan waktu. Hebat!!

Dalam tinjauan psikologi irasional, orang bertindak irasional atau unreasonable dikarenakan prinsip trade-off. Maksudnya orang akan bersedia melakukan hal-hal yang tidak masuk di akal apabila mengejar keuntungan yang berada di balik perilaku irasional itu. Dengan kata lain, semakin besar efek menyenangkan yang nantinya akan didapat, semakin berani seseorang melakukan tindakan irasional. Contohnya David Beckham, bersedia berlatih berjam-jam sehari lebih lama dari teman se-timnya sampai melupakan kegiatan lain, karena ia terobsesi untuk menjadi yang terbaik.

Nah, bila kita bayangkan kenikmatan yang kita dapatkan bila Tuhan kita senangkan, maka seharusnya kita akan mau melakukan hal-hal yang dianggap orang lain tidak rasional. Inilah yang dimaksud dengan istilah unreasonable. Bersedia melakukan hal-hal yang tidak masuk akal demi tercapainya suatu obsesi, dalam hal ini obsesi menyenangkan Tuhan.

Yesus sering dinilai ahli taurat dan orang Farisi sebagai orang yang tidak rasional. Misalnya menyembuhkan orang pada hari Sabat, 'membela' pelacur yang tertangkap basah, makan di rumah orang berdosa, ngobrol sama orang Samaria, ngapain coba? Ternyata ini obsesinya Yesus:

  • Luk 19:10 Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang."

Ngapain rasul-rasul itu pergi keliling dunia, mengabarkan Injil. Bukannya enak di rumah? Itulah salah satu contoh tindakan unreasonable, yang pasti ditimbulkan oleh sebuah obsesi untuk menyenangkan Tuhan mereka. Lebih ngeri lagi, pengakuan Paulus di bawah ini:

  • 2Co 11:23b ....Aku lebih banyak berjerih lelah; lebih sering di dalam penjara; didera di luar batas; kerap kali dalam bahaya maut. 24 Lima kali aku disesah orang Yahudi, setiap kali empat puluh kurang satu pukulan, 25 tiga kali aku didera, satu kali aku dilempari dengan batu, tiga kali mengalami karam kapal, sehari semalam aku terkatung-katung di tengah laut. 26 Dalam perjalananku aku sering diancam bahaya banjir dan bahaya penyamun, bahaya dari pihak orang-orang Yahudi dan dari pihak orang-orang bukan Yahudi; bahaya di kota, bahaya di padang gurun, bahaya di tengah laut, dan bahaya dari pihak saudara-saudara palsu. 27 Aku banyak berjerih lelah dan bekerja berat; kerap kali aku tidak tidur; aku lapar dan dahaga; kerap kali aku berpuasa, kedinginan dan tanpa pakaian,
Kenapa Paulus mau menanggung perkara yang tidak rasional ini? Karena ia sendiri mengalami pertemuan pribadi dengan Yesus yang sudah bangkit, dalam perjalanan Paulus ke Damsyik. Apa obsesi Paulus? Menjadi saksi Tuhan.

  • Act 22:14 … Allah nenek moyang kita telah menetapkan engkau untuk mengetahui kehendak-Nya, untuk melihat Yang Benar dan untuk mendengar suara yang keluar dari mulut-Nya. 15 Sebab engkau harus menjadi saksi-Nya terhadap semua orang tentang apa yang kaulihat dan yang kaudengar.

Satu lagi deh contohnya, Maria Magdalena.

  • Joh 12:3 Maka Maria mengambil setengah kati minyak narwastu murni yang mahal harganya, lalu meminyaki kaki Yesus dan menyekanya dengan rambutnya; dan bau minyak semerbak di seluruh rumah itu. 4 Tetapi Yudas Iskariot, seorang dari murid-murid Yesus, yang akan segera menyerahkan Dia, berkata: 5 "Mengapa minyak narwastu ini tidak dijual tiga ratus dinar dan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin?"

Coba kita analisis. Maria adalah seorang yang bersyukur atas diselamatkannya dia dari hukuman rajam. Dia juga bersyukur atas kebangkitan Lazarus. Ini adalah dasar yang cukup bagi dia untuk menjadi terobsesi menyenangkan Yesus. Dan yang dia lakukan adalah hal yang unreasonable. Ia "membuang" uang demi Yesus. Namun Yesus disenangkan.

Bandingkan Maria dengan Yudas. Pasti Yudas memiliki lebih banyak waktu untuk mendengarkan Yesus. Yudas memiliki lebih banyak waktu bersama Yesus dibandingkan Yesus bersama Maria. Yudas lebih banyak menyaksikan mujizat. Namun tindakannya justru sebaliknya. Ia mencela seseorang yang mau menyenangkan Yesus. Mengapa? Karena Yudas hanya terobsesi pada kesenangan dirinya sendiri.

Kalau kita lihat diri kita di depan cermin, siapakah yang terpampang di cermin? Yudas atau Maria? Orang yang bersedia melakukan tindakan yang gak masuk akal demi menyenangkan Tuhan atau orang yang memanfaatkan Tuhan demi kesenangan kita sendiri? Saatnya introspeksi ...

Kamis, Februari 11, 2010

Terobsesi pada Tuhan (2) Preoccupation

Dalam tulisan sebelumnya, saya mengupas tentang persistensi. Kali ini saya akan bahas unsur kata kedua yang terkandung dalam definisi obsesi, yaitu kata preoccupation yang sederhananya dapat diartikan 'keasyikan'. Mari kita lihat cerita Kain dan Habel berikut.

  • Kejadian 4:2 Selanjutnya dilahirkannyalah Habel, adik Kain; dan Habel menjadi gembala kambing domba, Kain menjadi petani. 3 Setelah beberapa waktu lamanya, maka Kain mempersembahkan sebagian dari hasil tanah itu kepada TUHAN sebagai korban persembahan; 4 Habel juga mempersembahkan korban persembahan dari anak sulung kambing dombanya, yakni lemak-lemaknya; maka TUHAN mengindahkan Habel dan korban persembahannya itu, 5 tetapi Kain dan korban persembahannya tidak diindahkan-Nya. Lalu hati Kain menjadi sangat panas, dan mukanya muram.
Tahukah saudara bahwa sebelum jaman Nuh, tidak ada orang yang memakan daging? Semua orang vegetarian. Baru setelah banjir besar, Nuh diijinkan Tuhan untuk memakan binatang. Ini buktinya:

  • Kejadian 2:16 Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: "Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas,

Binatang tidak diperintahkan untuk dimakan. Setelah banjir besar:

  • Kejadian 9:3 Segala yang bergerak, yang hidup, akan menjadi makananmu. Aku telah memberikan semuanya itu kepadamu seperti juga tumbuh-tumbuhan hijau.
Ada kata 'akan', berarti sebelumnya orang tidak makan 'segala yang bergerak dan yang hidup'. Lalu pertanyaannya, mengapa Habel memilih profesi sebagai penggembala domba? Bukankah domba itu tidak akan dimakannya? Jawabannya adalah karena dia begitu terobsesi dengan Tuhan. Habel tahu bahwa korban binatang adalah korban kesukaan Tuhan.

Waktu Adam dan Hawa jatuh dalam dosa, takut, dan bersembunyi karena dosa dan ketelanjangan mereka, Tuhan meng-cover mereka dengan cara menutupi tubuh Adam dan Hawa dengan kulit binatang. Itulah binatang pertama yang disembelih. Habel belajar bahwa itulah korban yang menyukakan hati Tuhan, korban yang menutupi dosa, korban yang membuat dia bisa menemui Tuhan.

Maka Habel begitu terobsesi untuk memberikan yang terbaik buat Tuhan. Ia persiapkan mulai dari menggembalakan, memelihara domba. Bukan untuk dimakan, tapi khusus untuk dipersembahkan. Itulah sebabnya persembahan Habel diterima Tuhan sedangkan Kain ditolak. Habel mempersiapkan persembahannya dengan 'asyik'. Itulah yang dinamakan preoccupation.

Saya mau ambil contoh seorang tokoh publik terkenal saat ini, Anies Baswedan. Berikut ini riwayat singkatnya yang saya temukan di internet (maaf lupa alamatnya).

  • Nama : Anies Rasyid Baswedan PhD (Cirebon, 7 Mei 1969)
  • Pendidikan:PhD, Departemen Ilmu Politik Northern Illinois University, AS (2005), Master of Public Management, International Security and Economic Policy University of Maryland School of Public Policy, College Park, AS (lulus tahun 1998), Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (lulus tahun 1995), Kajian Asia, Sophia University, Tokyo, Jepang (non-degree, 1993).
  • Beasiswa dan penghargaan:Gerald Maryanov Fellow, Northern Illinois University (2004-2005), Indonesian Cultural Foundation Scholarship (1999-2003), William P Cole III Fellowship, Universitas Maryland (1998), Fulbright Scholarship (1997-1998), ASEAN Students Assistance Awards Program (1998), JAL Scholarship (1993), AFS Intercultural Program, SMA di Milwaukee, Wisconsin, AS (1987).
  • Pengalaman kerja, antara lain:Rektor Universitas Paramadina, Jakarta (sejak Mei 2007), Direktur Riset The Indonesian Institute Center for Public Policy and Analysis, Jakarta (sejak November 2005), Kemitraan untuk Reformasi Tata Kelola Pemerintahan (Januari 2006-Mei 2007), peneliti pada Pusat Penelitian, Evaluasi, dan Kajian Kebijakan, Northern Illinois University (tahun 2000), Pusat Antar Universitas, UGM (1994-1996).

Bagaimana dia bisa seperti ini? Lihat tahun kelahirannya. Masih sangat muda dan sudah berprestasi global! Menurut cerita dosen saya yang seangkatan dengan dia, Anies ini orang yang berwawasan global dan jauh ke depan. Ia mengatur langkahnya sejak dari awal. Ia persiapkan dirinya untuk mencapai lingkup global. Bila ada pemilihan senat tingkat fakultas, dia tidak ikut. Ikutnya tingkat universitas. Begitu juga ketika kuliah di luar negeri. Ia tidak hanya kuliah, Ia berkarya, menjalin relasi. Mempersiapkan dirinya. Itulah yang saya maksud dengan preoccupation. Menganggap apa yang dikerjakan adalah sesuatu yang mengasyikkan.

Lihat Yusuf, ia mempersiapkan hidupnya. Dalam tahap manapun di hidupnya, ia selalu melakukan yang terbaik dan terus memandang ke tujuan akhir, walaupun apa yang ada di hadapannya sepertinya tidak mendukung mimpinya. Setiap pekerjaannya dia lakukan dengan asyik. Dan orang yang melakukan sesuatu dengan 'keasyikan' pasti akan menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari rata-rata orang lain. Lihat saja Habel.

  • Ibrani 11:4 Karena iman Habel telah mempersembahkan kepada Allah korban yang lebih baik dari pada korban Kain. Dengan jalan itu ia memperoleh kesaksian kepadanya, bahwa ia benar, karena Allah berkenan akan persembahannya itu dan karena iman ia masih berbicara, sesudah ia mati.
Bagaimana dengan kita? Apakah kita punya obsesi? Apakah kita menjalaninya dengan asyiknya? Atau berprinsip 'que sera sera, whatever will be will be'? Ayo rencanakan masa depanmu.

Dalam hubungan dengan Tuhan, persiapkan diri kita dengan penuh keasyikan untuk melayani Dia. Pasti apa yang akan kita hasilkan akan lebih baik dari rata-rata orang lain. Setuju gak?

(bersambung ke unreasonable)

Rabu, Februari 10, 2010

Terobsesi pada Tuhan (1) Persistent

Kolose 3:23 Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.

Col 3:23 Whatever you do, do it wholeheartedly as though you were working for your real master and not merely for humans. (versi God's Word).

Mungkin kita sering membaca ayat di atas, namun menerapkan ayat itu dalam kehidupan sehari-hari adalah sesuatu yang belum tentu dapat kita lakukan. Ayat di atas jelas mengatakan bahwa apapun yang kita lakukan bukan untuk manusia. Ini adalah perintah.

Kata wholeheartedly (sepenuh hati) yang dimaksud dalam ayat ini berasal dari kata psuche yang dapat diartikan breath, spirit, life, mind, soul. Jadi ayat di atas bermaksud mengatakan bahwa ekstrimnya, dalam hal bernapas pun, kita harus melakukannya untuk Tuhan. Hidup ini semuanya ditujukan kepada Allah.

Semua orang pasti memiliki obsesi. Definisi obsesi adalah gagasan, khayalan atau dorongan yang berulang, tidak diinginkan dan mengganggu, yang tampaknya konyol, aneh atau menakutkan.

Dari kamus Webster, obsesi diartikan sebagai “persistent disturbing preoccupation with an often unreasonable idea or feeling; broadly : compelling motivation ” Ada 3 kata kunci dalam definisi ini yang akan saya bahas secara berseri, yaitu kata persistent, preoccupation, dan unreasonable.

Mari kita kupas satu per satu 3 kata kunci di atas.

1. Persistent

Persistent artinya keteguhan, ketetapan, atau bahasa jawanya ngeyel. Biasanya mengandung pengertian 'nggak tahu malu'. Ada pepatah jawa yang terkenal, namun sering kita potong separo. Pepatah itu berkata, "giyak-giyak ben kecandak, alon-alon waton kelakon". Artinya cepat-cepatlah agar tercapai, namun kalau belum bisa tercapai, pelan-pelan gak papa asal tetap tercapai. Ini persis dengan yang dimaksud dengan persistent. Tidak berhenti sampai tujuan tercapai.

Dalam Lukas 8:43-44 ada contoh:

  • Luk 8:43 Adalah seorang perempuan yang sudah dua belas tahun menderita pendarahan dan yang tidak berhasil disembuhkan oleh siapapun. 44 Ia maju mendekati Yesus dari belakang dan menjamah jumbai jubah-Nya, dan seketika itu juga berhentilah pendarahannya.

Dikatakan bahwa wanita ini tidak berhasil disembuhkan oleh siapapun. Artinya dia coba kemana-mana. Dia berusaha untuk sembuh. Itulah persistensi. Contoh lain ada dalam cerita Yakub ketika bertemu dengan malaikat.

  • Kejadian 32:24-26 Lalu tinggallah Yakub seorang diri. Dan seorang laki-laki bergulat dengan dia sampai fajar menyingsing. 25 Ketika orang itu melihat, bahwa ia tidak dapat mengalahkannya, ia memukul sendi pangkal paha Yakub, sehingga sendi pangkal paha itu terpelecok, ketika ia bergulat dengan orang itu. 26 Lalu kata orang itu: "Biarkanlah aku pergi, karena fajar telah menyingsing." Sahut Yakub: "Aku tidak akan membiarkan engkau pergi, jika engkau tidak memberkati aku."

Yakub berkata, "Aku tidak akan membiarkan engkau pergi, jika engkau tidak memberkati aku." Ini persistensi. Yesus sendiri juga mengajarkan kita untuk persisten, walaupun bukan berarti memaksakan kehendak kita kepada Tuhan. Tapi kita harus terus meminta selama Tuhan belum menjawab 'tidak'! Ni ayatnya:

  • Luk 11:5 Lalu kata-Nya kepada mereka: "Jika seorang di antara kamu pada tengah malam pergi ke rumah seorang sahabatnya dan berkata kepadanya: Saudara, pinjamkanlah kepadaku tiga roti, 6 sebab seorang sahabatku yang sedang berada dalam perjalanan singgah ke rumahku dan aku tidak mempunyai apa-apa untuk dihidangkan kepadanya; 7 masakan ia yang di dalam rumah itu akan menjawab: Jangan mengganggu aku, pintu sudah tertutup dan aku serta anak-anakku sudah tidur; aku tidak dapat bangun dan memberikannya kepada saudara. 8 Aku berkata kepadamu: Sekalipun ia tidak mau bangun dan memberikannya kepadanya karena orang itu adalah sahabatnya, namun karena sikapnya yang tidak malu itu, ia akan bangun juga dan memberikan kepadanya apa yang diperlukannya.

Yesus berkata, "karena sikapnya yang tidak tahu malu itu, …" inilah persistensi.

Banyak orang memiliki kecenderungan untuk berhenti sebelum tujuannya tercapai. Putus asa ketika ada tembok yang menghalangi. Dan itu membuat orang tidak akan pernah mencapai hal yang maksimal dalam hidupnya. Bayangkan wanita pendarahan itu, atau Yakub, Yusuf, Daud, dll.. bila mereka berhenti ketika ada masalah... wanita itu tidak akan sembuh dan mereka yang lain tidak akan mencapai puncak karir mereka.

Dalam hidup saudara adakah persistensi? Dalam 'mengejar Tuhan' apakah ada persistensi? Apakah saudara 'ngeyel' untuk tetap bertemu Tuhan? Dalam mengejar tujuan hidup saudara, apakah saudara persisten? Seperti seorang pendaki gunung yang belum akan berhenti sebelum mencapai puncak, marilah kita miliki sikap persisten. Ayo jangan berhenti di tengah jalan... selesaikan!

(bersambung ke preoccupation)

Selasa, Februari 02, 2010

Mall vs Pasar ditinjau dari Learning Process

Proses belajar selalu menghasilkan perubahan perilaku yang menetap sebagai hasil dari adanya latihan yang disengaja. Jadi proses belajar bukan disebabkan perubahan yang otomatis, misalnya karena kemasakan, penyakit, atau kejadian yang tidak disengaja. Perubahan yang terjadipun bersifat tetap bukan sementara.

Adakah pengaruh proses belajar dalam proses pemilihan tempat berbelanja?

Pasar tradisional memiliki karakteristik yang khas, yaitu ramai, becek, susunan barang yang tidak beraturan, dan harga yang tidak pasti. Bagi sebagian orang, belanja di pasar tradisional adalah kenikmatan tersendiri. Namun bagi kaum tertentu pula, belanja di pasar tradisional menimbulkan stress tersendiri. Di pasar tradisional ada tawar-menawar, basa-basi serta beragam sentuhan humanis yang lain. Namun, keberadaan pasar tradisional makin lama makin terpinggirkan, sejalan dengan menjamurnya mall. Fenomena ini menurut saya dapat dijelaskan dari adanya proses belajar dalam diri pembeli.

Pemilihan tempat berbelanja adalah perilaku yang timbul dari perilaku belajar. Saat ini banyak orang lebih memilih berbelanja di mall daripada di pasar tradisional. Mengapa hal ini dapat terjadi?

Dalam teori belajar, secara singkat bisa kita katakan bahwa, perilaku yang berakibat menyenangkan akan diulang, dan perilaku yang berakibat tidak menyenangkan akan dihindari. Di bawah ini, akan dibahas satu persatu, ciri pasar tradisional dan ciri mall. Kedua hal itu akan dikaikan dengan proses belajar dan proses pengambilan keputusan dalam memilih tempat berbelanja.

Pasar Tradisional

Ketika seseorang pergi berbelanja bahan makanan di pasar tradisional, dia akan menemui banyak keadaan yang tidak menyenangkan. Diantaranya lokasi yang biasanya kotor, becek, berbau, ramai, panas, dan banyak ketidaknyamanan lain.

Dalam hal antri. Di pasar, tidak ada budaya antri. Siapapun yang datang di sebuah lapak atau kios, dapat langsung menyela pembicaraan penjual dan pembeli lain yang lebih dulu datang. Dalam hal pembayaran pun demikian. Seseorang harus berebut untuk dilayani. Ini menimbulkan ketidaknyamanan tersendiri.

Tidak ada kejelasan tempat produk. Semua diletakkan begitu saja, bercampur satu sama lain. Tidak rapi dan tidak menarik susunannya. Kalaupun ada pengelompokan, sangat banyak variasinya. Begitu pula soal harga. Tidak ada harga yang baku. Ketika seseorang yang tidak biasa datang ke sebuah pasar, pasti akan kebingungan dengan situasi kacau yang ada di pasar. Ini tentu saja juga menambah ketidaknyamanan. Dalam proses mental manusia, kondisi tidak menyenangkan ini akan berusaha untuk dihindari atau dihilangkan.

Mall

Berbeda dengan di mall, terdapat banyak hal menyenangkan yang ada di mall. Lokasinya yang bersih, terawat, berpendingin udara, dan segalanya tertata dan terorganisir dengan baik. Banyak aktivitas lain juga yang bisa dilakukan di mall selain berbelanja.

Harga setiap produk tercantum dengan jelas. Tempat penjualan produknya pun jelas terkelompok dengan baik. Ketika seseorang mencari suatu produk, mereka dengan mudah menemukannya. Ada petunjuk yang jelas. Dan harganya pun segera diketahui. Ini sangat menguntungkan pembeli dalam banyak hal. Tidak ada pemborosan waktu karena harus mencari-cari barang, maupun tawar menawar harga, yang belum tentu dimenangkan oleh pembeli. Banyak lagi keuntungan daripada berbelanja di mall, yang secara otomatis otak kita merekam bahwa peristiwa-peristiwa itu menyenangkan.

Hal ini dicatat dalam mental kita sebagai peristiwa yang menyenangkan. Perilaku ini menimbulkan efek rekreatif. Dan sesuai teori belajar, perilaku yang menyenangkan akan berusaha diulangi.

Kesimpulan

Seseorang yang pergi ke pasar untuk berbelanja, akan menemukan banyak ketidaknyamanan. Dan ketika hal itu berulang-ulang terjadi akan timbul asosiasi negatif. Asosiasi negatif yang terbentuk adalah berbelanja di pasar, rasanya tidak menyenangkan.

Sementara itu, seseorang yang masuk untuk berbelanja di mall, merasakan kenyamanan. Dan ketika dia melakukannya berulang-ulang, maka dia belajar bahwa berbelanja di mall lebih enak daripada di pasar. Di mall tidak perlu berdesak-desakan, dan berbagai ketidaknyamanan lain yang sudah dijelaskan di atas.

Maka, orang memilih lebih suka berbelanja di mall daripada di pasar tradisional. Namun kesimpulan ini masih harus diuji dengan penelitian untuk mempertanyakan variabel lain yang berpengaruh. Misalnya pengaruh jenis kelamin, pengaruh kepribadian, sikap, motivasi, dan lain-lain. Begitu pula dengan lokasinya. Apakah kota besar,sedang, ataukah pedesaan. Menurut asumsi saya, akan berbeda pemilihannya.

Namun yang terpenting adalah, apapun pilihannya, antara berbelanja di pasar tradisional atau di mall, dalam proses pemilihan itu pasti dipengaruhi oleh proses belajar. Bila menyenangkan akan diulang, bila tidak menyenangkan akan dihindari.

Daftar Pustaka

  • Antonides, Gerrit, Psychology in Economics and Business, An Introduction to Economic Psychology, Kluwer Academic Publishers, Netherlands, 1951.

Fenomena Bunuh Diri pada Anak Kecil

Akhir-akhir ini banyak sekali berita tentang anak yang melakukan bunuh diri. Berikut tinjauan psikologis dari perilaku bunuh diri pada anak dan tindakan prevensi yang sebaiknya dilakukan.

A. Penyebab Bunuh Diri

Bunuh diri adalah bukan disebabkan sebuah kondisi sesaat sebelum bunuh diri (precipitating event), namun merupakan akumulasi dari kondisi psikologis yang dialami anak (Rahmawati, 2004).

Santrock (dalam Rahmawati, 2004) mengatakan bahwa bunuh diri disebabkan oleh depresi yang melanda pelakunya. Depresi didahului oleh frustasi, dan frustasi didahului oleh stres. Depresi dapat terjadi pada anak karena berbagai faktor antara lain faktor kognitif, biogenetis, dan lingkungan sosial.

B. Penyebab Masalah

Psikoanalisa memandang tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh individu adalah agresifitas yang tinggi dalam menyerang dirinya sendiri. Konsep ini didasarkan pada teori Freud tentang insting mati (death instinct) atau thanatos. Freud menyatakan bahwa kehilangan kontrol ego individu, menjadi penyebab individu tersebut melakukan bunuh diri. Bunuh diri merujuk pada suatu manifestasi kemarahan kepada orang lain yang dialihkan kepada diri sendiri (Hall, 1993).

Menurut logoterapi, sindroma ketidakbermaknaan adalah sumber dari masalah. Menurut Frankl (2003), seseorang yang tidak menemukan makna hidup akan mengalami sindroma ketidakbermaknaan (syndrom of meaninglessness). Sindroma ini terdiri dari dua tahapan yaitu kevakuman eksistensi (existential vacum) dan neurosis noogenik. Kevakuman eksistensial terjadi ketika hasrat akan makna hidup tidak terpenuhi. Gejala-gejala yang ditimbulkan dari kevakuman eksistensial ini antara lain perasaan hampa, bosan, kehilangan inisiatif, dan kekosongan dalam hidup. Fenomena ini merupakan fenomena yang menonjol pada masyarakat modern saat ini. Hal ini dikarenakan pola masyarakat modern yang sudah terlalu jauh meninggalkan hal-hal yang bersifat religius dan moralitas. Frankl menekankan bahwa kevakuman eksistensialis bukanlah sebuah penyakit dalam pengertian klinis. Frankl menyimpulkan bahwa frustasi eksistensi adalah sebuah penderitaan batin ketika pemenuhan akan hasrat untuk mempunyai hidup yang bermakna terhambat (Bastaman, 2007).
Neurosis noogenik merupakan sebuah gejala yang berakar pada kevakuman eksistensialis. Neurosis ini terjadi apabila kevakuman eksistensialis disertai dengan simptom-simptom klinis. Permasalahan patologis tersebut berakar pada dimensi spiritual dan noologis yang berbeda dengan neurosis somatogenik (neurosis yang berakar pada fisiologis) maupun neurosis psikogenik (neurosis yang berakar pada permasalahan psikologis). Neurosis noogenik itu sendiri dapat timbul dengan berbagai neurosis klinis seperti depresi, hiperseksualitas, alkoholisme, narkoba, dan kejahatan (Koeswara, 1990).

Pada kasus anak yang bunuh diri, anak menemukan kebuntuan dalam hidupnya karena tidak dapat menemukan makna dari penderitaan yang dialaminya. Anak secara naluriah belum mampu untuk memodifikasi sikap dan mempertahankan diri terhadap penderitaan yang dialami. Hal ini diperkuat dengan kondisi anak yang lemah secara psikologis, kurangnya dukungan sosial, maupun buruknya kondisi lingkungan di sekitar anak.

Kondisi anak yang lemah psikologis, misalnya adalah anak yang berpendidikan rendah, memiliki pemahaman religius yang rendah, tidak stabil, dan kemungkinan mengalami mood disorder. Bunuh diri sering kali diasosiasikan dengan gangguan mood. Paling kurang, 15 % individu dengan depresi, sukses melakukan bunuh diri (www.mentalhelath.net). Lebih dari 60 % kasus bunuh diri (75 % bunuh diri pada remaja) diasosiasikan dengan adanya gangguan mood. Lebih lanjut, meskipun ditemukan jika depresi dan bunuh diri sangatlah terikat erat satu sama lainnya, namun depresi dan bunuh diri masih berdiri sendiri. Kebanyakan, perasaan terisolasi dan kehilangan harapan (bagian dari depresi) adalah hal yang sangat bisa menyebabkan terjadinya bunuh diri.

Kurangnya dukungan sosial, misalnya orang tua yang selalu menyalahkan, terlalu banyak menuntut, kurang perhatian, tidak memberikan dukungan keuangan yang cukup kepada anak karena miskin, atau orang-orang terdekat yang sering mengejek atau menghina kekurangan si anak.

Buruknya kondisi lingkungan di sekitar anak, misalnya pengaruh siaran televisi yang menyiarkan hedonisme, konsumerisme, kekerasan, atau situasi lain yang mendukung adanya sarana untuk bunuh diri (situasi rumah yang sepi, ketersediaan bahan-bahan untuk bunuh diri, dll).

C. Prevensi

1. Primary Prevention Practice

Dalam merancang prevensi terhadap kasus bunuh diri pada anak, tulisan ini menggunakan skema dari Martin Bloom (1996), yang menjadi dasar dari prevensi dan intervensi kasus-kasus penyimpangan individu.

a. Meningkatkan kekuatan individu (Increasing individual strengths) dan mengurangi kelemahan individu (decreasing individual limitation)

Saya mengusulkan memasukkan pendidikan mental positif semacam search for meaning berbasis logoterapi pada anak. Bukti penelitian ada pada disertasi Wimberly (2006). Sebuah penelitian yang tercantum dalam disertasi yang berjudul Impact of Logotherapy on At-Risk African American Elementary Students yang dilakukan oleh Wimberly (2006).

Penelitian ini dilakukan pada anak kelas 5 dan 6 SD keturunan Afrika-Amerka yang berresiko untuk memiliki masalah kenakalan remaja di kota-kota yang berpopulasi sedang di Amerika bagian selatan. Sebelum dikenakan treatment konseling, kelompok treatment dan kelompok kontrol dikenakan pretes yang berupa PIL (Purpose in Life) test dan NSLOC (Nowicki Strickland Locus of Control) test. Setelah itu kelompok treatment mendapatkan konseling selama delapan minggu, dan kelompok kontrol tidak mendapatkan konseling itu. Kemudian setelah delapan minggu, kedua kelompok dites kembali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok treatment mendapatkan hasil yang signifikan dalam peningkatan skor PIL, NSLOC, dan berdasar hasil observasi guru terhadap perilaku dalam kelas mereka, menunjukkan perubahan positif setelah menjalani treatment logoterapi. Sedangkan pada kelompok kontrol yang tidak menerima treatment justru menunjukkan hasil penurunan skor dan perubahan negatif dalam perilaku kelas.

Pemerintah dan swasta bekerjasama untuk menyediakan beasiswa atau program orangtua asuh untuk anak-anak miskin yang berresiko untuk mengalami depresi. Sekolah-sekolah mengadakan asesmen dan melakukan pendataan pada anak-anak yang berresiko depresi dan mengalami kecenderungan bunuh diri.

Menambah kualitas pendidikan agama yang diberikan pada anak di sekolah. Pendidikan agama ini diharapkan memberikan pemahaman tentang makna hidup, dan menumbuhkan harapan pada Tuhan.

b. Meningkatkan dukungan sosial (increasing social support) dan mengurangi tekanan sosial (decreasing social stresses)

Memberikan penyuluhan dan pengertian pada orang tua tentang adanya kenyataan permasalahan ini. Begitu juga figur pengganti orang tua seperti tetangga, guru, dan teman.
Memberikan bekal kepada orang tua untuk tidak terlalu menuntut hal-hal yang tidak mungkin kepada anak. Menyebarluaskan kesadaran pada masyarakat agar tidak memberikan tekanan berlebih kepada anak.

c. Meningkatkan kemudahan yang ditimbulkan dari lingkungan fisik dan mengurangi kesulitan yang ditimbulkan dari lingkungan fisik

Menanamkan kewaspadaan kepada semua pihak akan besarnya kemungkinan terjadinya kasus bunuh diri pada anak, sehingga dapat bekerja sama menanggulangi hal tersebut. Menyaring tayangan-tayangan kekerasan dan kriminal yang menyebabkan anak terbiasa untuk melihat kematian.

Dalam psikologi lingkungan dikenal istilah environmental numbness (ketumpulan terhadap lingkungan). Ketika seseorang sudah terbiasa pada keburukan lingkungannya, maka ia menjadi tidak lagi terpengaruh oleh keburukan itu. Contohnya seseorang yang tinggal di dekat pasar, lama kelamaan tidak lagi merasakan bahwa pasar itu ribut atau bau, karena sudah terbiasa. Begitu pula dalam kasus kekerasan dan kriminalitas. Ketika seseorang begitu sering melihat adegan kekerasan, kriminal, dan kematian maka ia tidak lagi memandang hal itu sebagai sebuah tragedi atau peristiwa yang luar biasa. Maka perlulah semua pihak mengontrol lingkungan agar tidak memberi pengaruh negatif pada anak.

2. Pendekatan Sistem

Diperlukan pula pendekatan sistem dalam kasus bunuh diri pada anak ini. Secara makro pemerintah perlu mengoreksi berbagai kebijakan dalam hal kurikulum pendidikan yang terlalu berat dan menimbulkan stres, biaya pendidikan yang sangat mahal, biaya hidup yang melonjak, program kesehatan mental masyarakat, seleksi penyiaran yang lebih ketat pada media cetak dan elektronik, pendidikan keagamaan yang baik, dan perbaikan situasi ekonomi secara keseluruhan.

Daftar Pustaka

  • Bastaman, H. D. (2007). Logoterapi: Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
  • Bloom, M. (1996). Primary Prevention Practises, Issues in Children's and Families' Lives Volume 5. California: Sage Publications.
  • Frankl, V.E. (2003). Logoterapi, Terapi Psikologi melalui Pemaknaan Eksistensi. Alihbahasa oleh Murtadio. Yogyakarta: KreasiWacana.
  • Hall, C.S., Lindzey, G. (1993). Teori-teori Psikodinamik (Klinis). Editor Dr. A. Supraktinya. Yogyakarta: Kanisius.
  • Koeswara, E. (1992). Logoterapi, Psikoterapi Viktor Frankl. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
  • Rahmawati, N. (2004). Mengapa Anak Nekat Bunuh Diri?, Suara Merdeka, Wacana, 6 Agustus 2004.
  • Wimberly, C.L. (2006). Impact of Logotherapy on At-Risk African American Elementary Students. A Dissertation in Counselor Education. Texas Tech University.

Jumat, Januari 29, 2010

Menghadapi Masa Pensiun (Makalah Psikogerontologi)

Definisi

Retirement/Pensiun adalah masa hidup seseorang saat ia tidak lagi bekerja. Standar usia pensiun di negara barat adalah 65 tahun dan di Indonesia adalah 55 tahun. Pensiun adalah masa saat orang bebas untuk memilih, melakukan sesuatu atau tidak. Memilih untuk menghabiskan waktu dengan sia-sia atau untuk sesuatu yang berguna. Pada masa pensiun, tidak ada tekanan waktu untuk menyelesaikan sesuatu (de Pasquale, 2001 dalam Butters 2002).

Corsini (1987), mengatakan bahwa pensiun adalah proses pemisahan individu dari pekerjaannya, dimana dalam menjalankan perannya seseorang digaji. Masa pensiun akan mempengaruhi aktivitas seseorang, dari situasi kerja ke situasi di luar pekerjaan.

Pensiun dapat dijelaskan sebagai suatu masa transisi ke pola hidup baru, atau merupakan akhir pola hidup (Hurlock, 1985). Transisi ini meliputi perubahan peran dalam lingkungan sosial, perubahan minat, nilai dan perubahan dalam segenap aspek kehidupan seseorang. Seseorang yang memasuki masa pensiun, dapat mengarahkan hidupnya untuk mengerjakan aktivitas lain, atau dapat juga sama sekali tidak mengerjakan aktivitas tertentu lagi.

Di Indonesia, seseorang dapat dikatakan memasuki masa pensiun bila :
a) Sekurang-kurangnya mencapai usia 50 tahun.
b) Telah diberhentikan dengan hormat sebagai pegawai negeri
c) Memiliki masa kerja untuk pensiun ± 20 tahun.

Beberapa Contoh:

- George Burns (komedian), pada usia 87 tahun berkata, "Saya percaya bahwa, anda harus tetap bekerja selama anda dapat bekerja." Pada usia 96 tahun, ia masih tampil di panggung. Pada waktu meninggal di usia 98 dia masih bekerja menyelesaikan buku (Papalia, 2007).

- Jessica Tandy, pada usia 81 tahun memenangkan Academy Award. Pada usia 84 tahun, masuk nominasi Piala Oscar. Pada usia 85 tahun, meninggal dalam keadaan dinominasikan di Emmy Award (Papalia, 2007).

- Armand Hammer, pada usia 91 tahun mengepalai Occidental Petroleum (Papalia, 2007).

- Julia Child, pada usia 90 tahun, menulis buku dan menjadi pembawa acara memasak di televisi.

- Jonas Salk, pada usia 80 tahun, bekerja membuat vaksin untuk AIDS (Papalia, 2007).

- George Eastman, pendiri dari Eastman Kodak, sangat sukses dan menjadi inspirasi dari banyak pemimpin bisnis. Keuangan, pendidikan tinggi, naluri bisnis yang hebat membuat perusahaannya sukses di tangannya. Anehnya, segera setelah dia pensiun, ia melakukan bunuh diri. Ada catatan singkat yang dia tinggalkan, "My work is done. Why wait?" (Pekerjaan saya sudah selesai, mengapa menunggu (kematian)?) (Berglas, 1997).

- Ibu Kasur (Sandiah Suryono), pada usianya yang ke 73, masih aktif mencipta lagu anak-anak dan menjadi pembawa acara di televisi. Karyanya mencapai 30 lagu anak-anak, aktif memimpin Yayasan Setia Balita, dan mengelola lima Taman Kanak-Kanak. Dia memiliki semboyan, "Para Lanjut Usia Indonesia jangan terlalu banyak istirahat, agar tidak berkarat." (Setiabudhi, 1999)

Dampak Emosi dari Retirement

Pensiun akan memutuskan seseorang dari aktivitas rutin yang telah dilakukan selama bertahun-tahun. Rantai sosial yang sudah terbina dengan rekan kerja juga terputus. Paling fatal adalah pensiun akan menghilangkan identitas seseorang yang sudah melekat begitu lama (Wenar, 2000).

Holmes dan Rahe (1967 dalam Antonides, 1991), mengungkapkan bahwa pensiun menempati peringkat 10 sebagai penyebab stress.

Akibat paling buruk pada pensiunan adalah depresi dan bunuh diri (Zimbardo, 1979).

Liem & Liem (1978 dalam Wenar 2000), mengatakan bahwa pensiun dapat menyebabkan masalah penyakit terutama gastrointestinal, gangguan saraf, dan berkurangnya kepekaan. Ia menyebut penyakit di atas, dengan istilah retirement syndrome.

Dampak yang paling nyata adalah berkurangnya pendapatan yang dapat menjadi tekanan besar dalam diri individu. Sebagai orangtua, pada masa ini, seseorang harus membesarkan anak-anak yang mulai berangkat remaja, atau yang sudah berkeluarga. Masa ini adalah masa yang penuh kesulitan bagi pensiunan di Indonesia. Pensiunan juga harus membiayai pendidikan anak-anak mereka, dengan kondisi pendapatan yang sudah menurun.

Selama ini yang menjadi patokan untuk penentuan masa pensiun adalah faktor usia pekerja saat ia dianggap mulai kurang produktif. Di negara barat, seseorang baru memasuki masa pensiun jika ia berusia 65 tahun. Ketika seseorang memasuki usia 65 tahun, ia sudah masuk pada kategori dewasa akhir (late aduthood). Produktivitas kerja sudah menurun, dan menurut tugas perkembangan, mereka telah saatnya berhenti bekerja dan menikmati kehidupan mereka.
Di Indonesia, seorang pegawai negeri sipil memasuki masa pensiun ketika ia berusia 55 tahun. Ada pengecualian bagi PNS yang keahliannya dibutuhkan. Usia 55 tahun masuk dalam kategori dewasa menengah (middle adulthood). Di tahap ini sebenarnya seseorang masih cukup produktif, dan justru sedang berada di puncak karirnya. Pada masa ini, seseorang masuk pada tahap re-evaluasi diri. Timbul pertanyaan seperti “Apakah saya sudah berhasil dalam hidup?”, “Apa yang akan saya lakukan dalam sisa hidup saya?”

Meskipun kekuatan fisik dan mental seseorang pada masa ini mulai menurun, namun pada masa ini seseorang mulai mencapai prestasi puncak, baik itu karir, pendidikan, dan hubungan interpersonal. Hal ini akan menimbulkan masalah psikologis. Mereka masih mampu bekerja, tetapi harus berhenti bekerja karena peraturan perusahaan. Ada perasaan dibuang dan ditolak yang muncul.

Dampak positif dari pensiun adalah seseorang dapat terbebas dari rutinitas kerja. Ada perasaan puas karena sudah berhasil menyelesaikan tugas dan kewajibannya. Perlmutter (1985), mengatakan bahwa sebagian besar kaum pensiun menunjukkan perasaan puas, tetap merasa dirinya berguna, dan dapat mempertahankan rasa identitasnya. Rasa depresi dan kecemasan yang timbul, biasanya ringan dan hanya sementara. Depresi lebih disebabkan oleh gangguan fisik dan bukan karena masa pensiun itu sendiri.

Fase Masa Pensiun (Novak dalam Butters 2002)

1. Pre-retirement phase

Persiapan yang dilakukan adalah persiapan keuangan, mencari hobi baru, membeli rumah untuk masa tua, dan merubah gaya hidup. Glamser (1981 dalam Butters 2002) menemukan bahwa 80% dari responden yang memiliki kesehatan yang baik, keuangan yang baik, pendidikan tinggi, dan memiliki hubungan sosial yang baik menunjukkan sikap positif (favourable) terhadap pensiun ketika masa itu tiba.

2. Honeymoon phase

Fase euphoria bagi para pensiunan. Mereka dapat melakukan apa saja yang tidak dapat dilakukan oleh pekerja yang terikat dengan jam kerja. Mereka dapat melakukan liburan panjang, travelling, mengunjungi saudara jauh, tidur seharian, atau apapun juga.

3. The retirement routine phase

Setelah lewat dari masa kegirangan (excitement) karena memiliki kebebasan mutlak, mereka mulai masuk ke masa aktivitas rutin. Aktivitas yang dilakukan misalnya bersosialisasi dengan tetangga, melakukan hobi, belajar kembali, atau menjadi relawan.

4. Rest and Relaxation phase

Inilah fase yang sering dibayangkan oleh orang-orang untuk dialami dalam masa pensiun. Hanya ada satu atau sedikit aktivitas yang dipilih untuk dilakukan. Aktivitas yang dilakukan di fase sebelumnya akan sebagian besar ditinggalkan.

5. Disenchantment phase

Fase hilangnya pesona dari masa pensiun. Fase ini tidak selalu terjadi pada lansia. Bila fase sebelumnya dijalani dengan baik, dan tugas perkembangannya dipenuhi dengan tuntas maka fase ini tidak terjadi. Ekerdt et al (1985 dalam Butters 2002) menemukan bahwa kepuasan hidup di lansia hanya didapat pada masa 6 bulan setelah pensiun. Setelah itu akan terus menurun. Kepuasan hidup akan turun drastis mulai pada masa 13-18 bulan setelah pensiun.
Pada masa ini biasanya mulai terjadi beberapa krisis kehidupan. Misalnya kematian pasangan, ditinggal anak menikah, dan inflasi ekonomi.

6. Reorientation phase

Pada fase ini, lansia yang mengalami fase disenchantment harus melakukan reorientasi. Menata kembali mental dan emosi mereka untuk terus menjalani hidup. Diperlukan dukungan sosial, keluarga, dan teman dekat untuk melakukan reorientasi.

7. Routine phase

Kembali melakukan rutinitas yang sudah jauh berkurang. Orang yang mengalami kepuasan hidup adalah orang yang menyadari apa yang diharapkan dari mereka dan apa hak mereka. Misalnya menerima uang pensiun dan tidak bekerja sepenuh waktu. Tahap ini seharusnya stabil dan dapat dinikmati.

8. Termination phase

Seseorang memerlukan kebebasan dan kesehatan untuk berperan sebagai pensiunan. Peran ini akan hilang bila orang itu kembali bekerja atau datangnya penyakit degeneratif merenggut kebebasannya.

Dasar Teori

Disengagement theory versus Activity theory

Mana yang lebih baik bagi seseorang di masa usia lanjut? Apakah memandang dunia berlalu dengan duduk di kursi goyang, ataukah berusaha tetap sibuk dari pagi sampai malam?

Menurut disengagement theory, proses penuaan pasti akan membawa pengurangan dalam keterlibatan sosial dan pencapaian diri yang lebih besar. Hal ini adalah kondisi yang tidak dapat dihindari sebagai akibat dari penurunan fungsi fisik. Semakin seseorang mampu melepaskan diri dari aktivitas dan melakukan adaptasi, semakin tinggi kepuasan hidupnya (Cumming & Henry, 1961).

Menurut teori aktivitas, peran yang disandang oleh lansia adalah sumber kepuasan yang besar; semakin besar mereka kehilangan peran setelah masa pensiun, menjanda, jauh dari anak-anak, atau infirmitas, maka semakin merasa tidak puaslah mereka. Orang yang tumbuh menjadi tua akan mempertahankan aktivitasnya sebanyak mungkin dan menemukan pengganti bagi perannya yang sudah hilang (Neugarten et al, 1968 dalam Papalia, 2007).

Penelitian lain juga menyatakan bahwa keterlibatan dalam aktivitas yang menantang dan tetap terlibat dalam peran sosial menimbulkan efek pelatihan pada kemampuan kognitif dan berpengaruh positif pada kesehatan dan kemampuan beradaptasinya (Papalia, 2007).

Ada empat jenis kondisi lansia dalam hubungannya dengan kepribadian, aktivitas, dan kepuasan hidup (Neugarten et al., 1968 dalam Papalia 2007):

1. Integrated people : berfungsi dengan baik, memiliki kehidupan emosi yang baik, kemampuan kognitif yang utuh, dan tingkat kepuasan hidup yang tinggi.

2. Armor-defended people : achievement oriented, bekerja keras, berusaha mengontrol dengan ketat situasi di sekitarnya.

3. Passive-dependent people : apatis dan selalu mencari kenyamanan dari orang lain.

4. Unintegrated people : disorganized, pengendalian emosinya kecil, kemampuan kognitif dan psikologisnya buruk (atau jauh berkurang), dan punya masalah dalam menyesuaikan diri .

Continuity Theory (Teori Kesinambungan)

Robert Atchley (1989), mengatakan bahwa seseorang yang mampu memelihara kesinambungan (continuity) dari masa sebelumnya baik dalam hal struktur internal ataupun eksternal akan mengalami kepuasan hidup. Individu yang terbiasa sibuk pada masa mudanya akan memilih untuk tetap sibuk (activity theory), sedangkan individu yang pada masa mudanya lebih santai akan memilih untuk melepaskan kegiatan-kegiatannya (disengagement theory).

Dalam menghadapi masa pensiun dengan baik, makalah ini menggunakan skema dari Martin Bloom (1996), yang menjadi dasar dari prevensi dan intervensi kasus-kasus penyimpangan individu.

a. Meningkatkan kekuatan individu (Increasing individual strengths)
- melakukan aktivitas atau hobi baru (work),
- relaksasi, rekreasi, dan menikmati hidup (leisure),
- belajar lagi (education).

b. Mengurangi kelemahan individu (decreasing individual limitation)
- menerima kenyataan (tugas perkembangan),
- menata ulang kehidupan atau menyesuaikan diri dengan keterbatasan,
- melakukan hal yang sederhana.

c. Meningkatkan dukungan sosial (increasing social support)
- meningkatkan frekuensi kunjungan ke atau dari anak dan sanak saudara,
- melibatkan diri pada kegiatan-kegiatan sosial,

d. Mengurangi tekanan sosial (decreasing social stresses)
- menjauhkan diri dari kegiatan yang menuntut aktivitas fisik yang tinggi dan berbahaya, misalnya: olah raga berat, lomba-lomba, pekerjaan fisik di rumah, dll.
- mengurangi gaya hidup mewah atau konsumerisme.

e. Meningkatkan kemudahan yang ditimbulkan dari lingkungan fisik
- tinggal di tempat yang tidak bising, misalnya pulang ke kampung halaman,
- memasang foto-foto dinding yang dapat menimbulkan kenangan akan makna hidup dan identitas diri, untuk menimbulkan perasaan puas akan pekerjaan yang sudah diselesaikan,
- berlangganan koran dan majalah-majalah yang 'cerdas', buku-buku, sehingga dapat mengasah otak
- mengatur makanan agar sehat dan sesuai dengan kondisi keuangan.

f. Mengurangi kesulitan yang ditimbulkan dari lingkungan fisik
- mendesain ulang letak benda-benda yang sekiranya mengganggu,
- menjauhkan benda-benda yang dapat menimbulkan kenangan buruk.

Data dan Hasil Penelitian

- Jenis dari aktivitas yang dilakukan setelah tua itu menentukan tingkat kepuasan hidup. Kegiatan informal bersama teman-teman dan keluarga lebih memuaskan daripada kegiatan formal, terstruktur, aktivitas kelompok, atau aktivitas yang bersifat solitaire seperti membaca, menonton televisi, dan hobi-hobi solitaire lain (Longino & Kart, 1982 dalam Papalia 2007).
- Kegiatan yang dilakukan oleh orang Amerika setelah pensiun pada usia 65 tahun ke atas (Papalia 2007) adalah Completly Retired 64%, Homemaker 10%, Retired and Working 13%, Not Retired 14%.
- Managing the mental and emotional aspects of retirement (Butters, 2002). Survey pada 700 pensiunan, menghasilkan kesimpulan bahwa pria dan wanita memiliki reaksi yang berbeda dalam menanggapi pensiun. Pria lebih mudah mengalami depresi dan post power syndrome daripada wanita. Kemungkinan disebabkan pria lebih mengikatkan identitasnya kepada pekerjaan dan status daripada wanita. Wanita mengikatkan identitasnya pada keluarga dan rumah tangganya.

Bekal dalam menghadapi masa Pensiun (Stone, 2001 dalam Butters 2002)

Berikut adalah tips praktis dari Howard Stone:

1. Menghilangkan kata 'pensiun' dalam arti tradisional, dari hidup individu. Pensiun bukan lagi harus diartikan sebagai berdiam diri dan pasrah melihat dunia bergerak, tetapi pensiun diartikan sebagai masa perpindahan ke kehidupan baru.

2. Menyadari bahwa pensiun adalah konsep yang relatif baru dalam dunia manusia. Istilah pensiun baru muncul di era industrialisasi. Pada jaman dulu, lansia diandalkan untuk hal-hal yang membutuhkan kebijaksanaan, ilham (insight), dan pengajaran ketrampilan (skills).

3. Mengatur kembali prioritas hidup. Memilih apa yang paling penting untuk dilakukan. Misalnya memperdalam hubungan dengan keluarga dan teman.

4. Memperbarui semangat untuk belajar atau menempuh pendidikan. Sel-sel dalam otak manusia selalu memerlukan pengetahuan dan tantangan-tantangan baru.

5. Meningkatkan energi kehidupan dengan bergaul dengan orang muda.

6. Melakukan kegiatan yang sama sekali baru dan merayakan keberhasilan yang ditimbulkan oleh berhasilnya melakukan kegiatan itu.

7. Memberikan tanggapan pada kesempatan-kesempatan baru. Membuka diri terhadap kesempatan yang mungkin ditawarkan dunia luar. Mungkin kesuksesan yang lebih besar sedang menanti.

8. Menggerakkan badan secara teratur. Misalnya renang, lari, menari, yoga, bersepeda, dan lain-lain.

9. Melihat mimpi-mimpi masa kecil dan mencoba mencapainya.

10. Mengingat bahwa kebijaksanaan dan kekuatan, untuk mengenali dan bertindak dalam menanggapi segala persoalan, ada di dalam diri orang tua.